25 Desember 2012

Ironi Palestina; Sebuah Resensi

Semua orang yang tinggal di Palestina dan Israel adalah manusia. Hal dasar itu yang kadang kita, publik di luar konflik, lupa. Selama ini kita cenderung mengkotak-kotakkan mereka yang terlibat konflik menjadi dua; Islam dan Yahudi, atau korban dan pelaku. Padahal tidak sepenuhnya benar.

Hal ini diungkapkan tersirat oleh Faisal Assegaf dalam buku independennya, Ironi Palestina. Dengan latar belakang sebagai jurnalis, ia menulis sesuai realitas kehidupan sehari-hari penduduk Palestina dan Israel. Dinamika kehidupan personal masyarakat dan hubungannya dengan kasus pendudukan Israel pada Palestina dibahas Faisal dengan sangat manusiawi. Hal ini sangat menarik. Karena di Indonesia tidaklah mudah menemukan media yang menjelaskan permasalahan sensitif ini dari sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang kedua belah pihak.

Cerita sederhana tidak pernah diungkapkan oleh media massa yang berbasis popolaritas, biasanya melebih-lebihkan dan mengheboh-hebohkan sebuah kejadian. Kebanyakan media Islam di Indonesia melihat dari satu sudut pandang dan kesemuanya melakukan propaganda kebencian berlebihan pada salah satu bangsa; Yahudi. Propaganda kebencian berlebihan ini lama kelamaan akan menjurus pada rasisme. Zionisme adalah idealisme rasisme akut, dan kalau disikapi dengan rasisme yang lebih parah, justru akan membuat kita tidak ada bedanya dengan zionis.

Selain berita-berita saduran dari media massa Internasional, Faisal Assegaf juga memberikan kisah-kisah yang diperoleh melalui wawancara eksklusif. Dalam wawancaranya dengan Rabbi Ahron Cohen, juru bicara dari Neturei Karta, sebuah kelompok Yahudi ortodoks yang dibentuk pada 1935, mengungkapkan bahwa pada dasarnya Yudaisme dan Zionisme adalah dua hal yang berbeda. Yudaisme adalah sebuah agama dan cara hidup dan sudah ada selama 3.500 tahun. Sejarah menunjukkan selama dua ribu tahun bangsa Yahudi menyebar ke seluruh dunia. Ajaran Yahudi melarang membangun sebuah negara. Sedangkan zionisme adalah satu konsep baru yang muncul beberapa ratus tahun lalu dan dibuat oleh orang-orang Yahudi sekuler yang mengadopsi gagasan nasionalisme. Ini sangat bertentangan dengan pendekatan ajaran Yudaisme. Beberapa ajaran Yahudi telah disalahartikan dan dieksploitasi demi kepentingan zionisme. Selain dengan Rabi Cohen, juga ada wawancara dengan Mahmud Zahar, pendiri dan pemimpin Hamas di Jalur Gaza; Nadia Abu Marzuq, Istri Wakil Kepala Biro Politik Hamas Musa Abu Marzuq; Marwan Barghuti, Pemimpin Intifadah; Mordechai Vanunu, Pembocor Rahasia Nuklir Israel; hingga Haji Ali Akbari, Wakil Presiden Republik Islam Iran.

Tidak hanya tokoh-tokoh terkenal terdapat dalam buku Ironi Palestina ini, ada banyak tokoh-tokoh biasa. Namun justru itu lah yang memperkuat sudut pandang personal dan manusiawi buku ini. Ada pasangan kekasih antara dua bangsa berkonflik sehingga mereka kesulitan untuk menikah. Ada cerita tentang dua sahabat pena berbeda bangsa saling berdebat mengenai konflik. Ada janda-janda muda Gaza ditinggal syahid suami mereka namun tidak bisa menikah lagi sehingga masa depan anak-anak tidak terjamin. Ada penduduk menganggap jatuhnya roket ke wilayah pendudukan adalah tontonan dan hiburan. Ada dilema seorang buruh bangunan Palestina yang terpaksa membangun pemukiman Israel karena tidak ada pilihan pekerjaan lain. Hingga Omer Goldman, anak wakil direktur Mossad, menentang ayahnya sendiri dengan menolak masuk wajib militer Israel dan membuat organisasi ‘Anarki Anti Tembok Pemisah’ dengan teman-teman sekolahnya.

Sejak awal, Indonesia memang dikenal dengan bangsa yang sangat peduli dengan keberpihakan pada bangsa Palestina. Dengan membaca kisah-kisah dalam buku ini, diharapkan publik Indonesia mampu melihat peristiwa yang terjadi di Palestina dan Israel dari sudut pandang yang lebih luas, sehingga keberpihakan kita pada Palestina akan menjadi jauh lebih manusiawi dan tidak terjebak pada propaganda kebencian membabi buta.[nad]

---

Dimuat di muslim-academy.com pada 20 Desember 2012.

(Palestina #2) Kisah Tembok Pemisah.

Sejak 16 Juni 2002, Pemerintah Israel membangun Tembok Pemisah di Yerusalem. Panjang tembok seluruhnya 750 kilometer dengan tinggi delapan meter. Dinding beton tebal ini dilengkapi dengan parit perlindungan, kawat berduri, kawat beraliran listrik, menara pengawas, sensor elektronik, kamera video, pesawat pengintai tanpa awak, menara penembak jitu, dan jalanan untuk patroli kendaraan. Intinya: tidak ada kemungkinan menerobos tembok.

Tembok itu dibangun secara zig zag melalui sepuluh dari sebelas distrik; melintasi semua kota di Tepi Barat. Pembangunan tahap pertama mulai dari sebelah barat Tepi Barat hingga utara Yerusalem sepanjang 145 kilometer sudah selesai pada Juli 2003. Tahap kedua sedang berlangsung, mulai dari timut Tepi Barat hingga selatan Yerusalem.
Pembangunan tembok pemisah ini bukan tanpa kendala. Tembok ini memakan biaya yang sangat besar yang jumlah total biaya pembangunannya tidak pernah diumumkan ke publik. Hanya saja, sekadar untuk biaya perawatan tembok menghabiskan dana sebesar US$ 4.7 juta/kilometer. Sehingga keseluruhan dana yang dibutuhkan Israel untuk perawatan tembok pemisah sepanjang 730 kilometer tersebut sebesar US$ 3.4 Milliar (Rp 33 Trilliun).

Dengan dibangunnya Tembok Pemisah antara Jalur Gaza dan wilayah Israel, mobilisasi rakyat Palestina menjadi sangat terbatas. Tidak setiap orang dapat keluar dari tembok pemisah. Kalaupun bisa, perbatasan dijaga dengan sangat ketat, dan harus melalui prosedur pemeriksaan yang berlapis-lapis. 1,5 Juta penduduk Jalur Gaza yang berada di dalam tembok, diblokir Israel. Keberadaan tembok ini memudahkan Israel melakukan blokade kepada penduduk Jalur Gaza.

Sebenarnya pada tahun 2004, Pengadilan Internasional di Den Haag mengeluarkan resolusi yang menyatakan bahwa tembok pembatas yang dibangun Israel itu ilegal dan harus dibongkar. Namun Israel tidak mengindahkan resolusi itu dan tetap meneruskan pembangunan tembok pembatas tersebut.

Terlebih hasil pemilu Palestina pada 2007 yang dimenangkan oleh Hamas, kelompok anti-Israel garis keras, membuat Israel murka. Karena itu sejak pertengahan Juni 2007, seluruh pintu perbatasan laut, udara, dan darat antara Jalur Gaza dengan wilayah sekitarnya, ditutup. Termasuk perlintasan Erez dan Sovia (Gaza-Israel), Rafah (Gaza-Mesir), dan Karen Shalom (Gaza-Mesir-Israel). Lalu lintas penumpang, barang, dan jasa pun sangat dibatasi. Sehingga pasokan bahan makanan, air, listrik, obat-obatan, dan material lain pun menipis.

Tidak hanya blokade yang diderita penduduk Jalur Gaza, Tembok Pemisah juga memisahkan seorang kekasih dari pasangannya yang berada di luar tembok. Ia juga memisahkan suami dari istrinya dan ayah dari anak-anaknya kalau ia dipenjarakan Israel. Ia memisahkan penduduk Jalur Gaza dengan pekerjaannya mencari nafkah karena kebutuhan sehari-hari yang harganya semakin melambung akibat blokade. Yang paling penting, Israel membangun ‘penjara’ bagi penduduk Jalur Gaza yang tidak berdosa.

Pembangunan Tembok Pemisah yang berhasil dari sudut pandang Israel ini bukan berarti tanpa protes. Tentangan pertama datang dari penduduk yang wilayahnya dikelilingi Tembok Pemisah, mereka tidak ingin diblokir. Tantangan kedua datang dari masyarakat internasional. Tentu saja isolasi yang dilakukan Israel selama ini adalah pelecehan kemanusiaan.

Kasus Tembok Berlin membelah Kota Berlin jadi dua: Berlin Jerman Barat dan Berlin Jerman Timur, juga sudah lama selesai. Keruntuhan Tembok Berlin dinilai sebagai dimulainya dunia baru yang demokratis dan peduli pada Hak Asasi Manusia. Tapi kenyataannya tidak. Israel malah meniru habis kelakuan rezim represif, kediktatoran, tiranik, kejam, dan berdasarkan penindasan, dengan membangun Tembok Pemisah yang berdiri angkuh membelah Tanah Palestina.

---

Bibliografi:
Assegaf, Faisal. Ironi Palestina. Jakarta: Hamas Lovers. 2010.
http://www.atjehcyber.net/2012/04/tahukah-anda-tembok-pemisah-palestina.html diakses pada tanggal 20 Desember 2012

---
Dimuat di muslim-academy.com pada 19 Desember 2012.

(Palestina #1) Karena Kita Manusia.

Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang dianugerahi banyak keistimewaan: otak untuk berpikir, hati nurani untuk merasa, dan fisik untuk bekerja. Dengan kepemilikannya itu, manusia menjadi satu-satunya makhluk yang paling berkompeten untuk memakmurkan bumi. Manusialah yang bisa mengembangkan peradaban, teknologi, ilmu pengetahuan, dan semua hal untuk mengolah lingkungan sekitarnya. Potensi tersebut menjadikan manusia mampu menjalankan tugasnya menjadi benar-benar manusia; menjadi khalifah di muka bumi.

Sayangnya, manusia seringkali kehilangan kemanusiaannya. Manusia yang seharusnya menjadi khalifah malah jadi makhluk perusak. Homo homini lupus; manusia adalah serigala untuk manusia yang lain. Exploitation l’homme par l’homme; eksploitasi manusia terhadap sesamanya.

Termasuk apa yang dilakukan Israel terhadap Palestina selama tujuh puluh tahun terakhir. Pendudukan Israel atas Palestina adalah sebuah kejahatan kemanusiaan. Bagaimana tidak, terjadi setidaknya tujuh belas genosida yang dilakukan secara terencana oleh Israel.

Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law.” Article 6, International Convenant on Civil and Political Rights.

Pembantaian Desa Balad Asy-Syeikh dan Hawasyah pada 1 Januari 1948 menjadi pembantaian pertama Israel terhadap Palestina, meminta korban 200 jiwa. Pembantaian Naashiruddin pada 13 Mei 1948. Pembantaian Bait Darais pada 21 Mei 1948. Pembantaian Allad1 dan Allad2 pada 11-12 Juli 1948, memakan korban 250 jiwa pada hari pertama dan 350 jiwa pada hari kedua. Pembantaian Shafat; merenggut 70 jiwa pemuda Arab. Pembantaian Deir Yassin pada 9 Oktober 1948 mengorbankan 600 jiwa. Pembantaian Ad-Duwaimah, 30 Oktober 1984; memakan korban 96 orang dan anak-anak. Pembantaian ‘Ailbun; korban 12 pemuda. Pembantaian Shafshaf di Al-Jalil; korban 52 orang Palestina. Pembantaian Qabiyyah pada 14 Oktober 1953 merenggut 2.000 jiwa. Pembantaian Kafr Qasim mengambil 49 nyawa termasuk wanita dan anak-anak pada 29 Oktober 1956. Pembantaian di Masjid Ibrahim di Hebron dilakukan seorang warga Israel di masjid ketika Muslim sedang shalat berjamaah dengan senjata otomatis; 24 jiwa melayang dan 350 luka berat, hanya dalam waktu 10 menit. Pembantaian kota Shabra dan Shatilla pada 18 September 1982, Israel menyerbu habis pemukiman pengungsi Palestina di Lebanon, korban sekitar 12.000 jiwa. Pembantaian ‘Uyun Qaara pada 20 Mei 1989; tujuh orang tewas seketika. Pembantaian Bahr Al Baqr, sebuah bom dijatuhkan Israel pada sebuah sekolah penuh anak-anak. Pembantaian pengungsian Qana di Lebanon; 100 orang meninggal, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak.

Semua ini belum termasuk penyebaran teror dan ketakutan pada tiap anak Palestina, juga penangkapan dan penghapusan kebebasan pada warga Palestina yang vokal melawan, penyiksaan di luar batas kemanusiaan yang terjadi hampir di tiap penjara milik Israel, penggusuran dan deportasi gila-gilaan, penghancuran sarana pendidikan bagi anak-anak Palestina, penghancuran ekonomi untuk melumpuhkan otoritas negara, memblokir dengan membangun tembok setinggi delapan meter dan panjang sejauh 750 kilometer agar masyarakat Palestina tidak bisa ke mana-mana, dan serta pelarangan melakukan ibadah dengan bebas baik bagi pemeluk agama Islam maupun Nasrani.

Semua tindakan yang dilakukan Israel jelas tidak bisa dibiarkan atas nama kemanusiaan. Dilogikakan dengan bagaimanapun juga tetap tidak masuk akal. Ditanyakan pada hati pun mencederai nurani.

Sekarang saatnya untuk membuktikan bahwa kita manusia. Bukan hanya dengan berbicara, tapi juga dengan bertindak. Memang susah menjadi manusia, karena banyak konsekuensi yang menyertai kemanusiaan kita. Tapi setidaknya kita telah berusaha.

---

Bibliografi:
Banna, Shofwan Al. Palestine, Emang Gue Pikirin. Yogyakarta: Pro-U Media. September 2006.
Assegaf, Faisal. Ironi Palestina. Jakarta: Hamas Lovers. 2010.
Chai, Ang Swee. From Beirut to Jerusalem. Jakarta: Mizan Pustaka. Juli 2006. 

---
Dimuat di muslim-academy.com pada 18 Desember 2012

17 Desember 2012

Hukuman Mati Untuk Koruptor

Aku menolak.


Feminist, am I?

Banyak orang bertanya heran, aku sebenarnya perempuan atau laki-laki. Mereka bertanya karena melihat tindak tandukku yang tidak seperti perempuan kebanyakan. Meski bagiku pun tindakanku itu tidak seperti lelaki kebanyakan.

Kenapa kamu melakukan ini, padahal kan kamu perempuan?
Kenapa kamu seperti itu, padahal kan kamu bukan laki-laki?
Kamu feminis ya?

Ya Tuhan, aku bahkan tidak tahu apa sebenarnya makna kata feminis. Aku biasanya hanya tertawa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Seorang teman bilang, inti feminisme itu bahwa perempuan setara dengan laki-laki. Dalam hal apapun. Pekerjaan, hak berkarya, kebebasan berpendapat, posisi sosial, dan sebagainya. Dia laki-laki, dan dia feminis. Aku sekedar baru dengar-dengar saja tentang feminisme. Aku tidak tahu apa-apa, maka aku diam saja. Apalagi menjadi aktivis.

Pada dasarnya, aku bahkan tidak berpikir sama sekali bahwa aku perempuan dan bukannya laki-laki. Aku tidak berpikir aku perempuan. Tapi aku juga tidak berpikir aku laki-laki. Fisikku memang perempuan. Tapi aku lupa aku perempuan. Ketika aku ingin melakukan sesuatu atau berpikir tentang sesuatu, aku ya berpikir saja, aku melakukan saja. Sama sekali tidak kepikiran, ini pekerjaan perempuan atau ini pekerjaan laki-laki. Ya kalau aku mau melakukan ya kulakukan. Kalau tidak ya tidak.

Yang aku tahu aku manusia. Setiap manusia punya hak yang sama. Kalau ada orang yang bilang kesamarataan gender, aku justru tidak peduli gender, bagiku yang terpenting kesamarataan manusia. Apa aku terpengaruh Matinya Gender - Ivan Illich? Ah tidak juga, aku belum pernah baca.

Menjadi feminis bagiku berlebihan. Menyamaratakan nasib salah satu gender dengan gender yang lain bisa saja, tapi justru dengan itulah ia mempertegas adanya perbedaan gender. Bukannya sama saja? Bukankah sama saja bohong kalau kamu melawan ketimpangan gender kalau tiap kamu berpikir semua-muanya berdasarkan gender?

Makanya aku menjadi manusia, alih-alih menjadi perempuan.

05 Oktober 2012

Buku-Buku yang Berpengaruh

Aku sering wawancara orang di @radiobuku tentang buku yang berpengaruh dalam hidup mereka. Tapi aku sendiri gak pernah ditanya. #sokngartis

Buku berpengaruh bukan buku yang paling kamu suka atau paling terkenal. Tapi paling bikin kamu bisa mengambil sikap karenanya. Aku baca buku sejak SD, tapi mulai mengambil sikap terhadap buku sejak SMA. Berikut sesuai urutan kronologi.

'Menjadi Manusia Pembelajar'- Andreas Harefa. Katanya tugas pertama manusia adalah menjadi dirinya sendiri. Aku sebenernya gak suka self-help book. Tapi sejak baca itu, berproses menjadi diri sendiri penting bagiku. Apapun yang orang bilang.

'The Alchemist' - Paolo Coelho menjadi lanjutannya. Tiap orang punya legenda pribadi, jalan hidup masing-masing. Hasil pilihannya sendiri. Makanya semua yang kulakukan adalah pilihanku. Egoiskah? Barangkali. Tapi aku tidak mau jadi korban. Kalau pun jadi korban, itu pilihanku.

Aku baca buku tentang Palestina dan penjajahan Israel udah lama, tapi 'Palestine, Emang Gue Pikirin?' - Shofwan Al Banna paling berpengaruh. Penjajahan pada Palestina itu kompleks dan besar. Tapi aku seorang biasa sendirian ternyata bisa melakukan sesuatu terhadapnya.

'Lapar: Negeri Salah Urus' - Khudori nampar tentang urusan ketahanan pangan lokal. Masalahnya ribet, rumit, besar. Apalah artinya aku? Maka aku menghindari makanan impor. Juga menghindari konsumsi pangan yang kalau dirunut, ternyata menzalimi oranglain.

Lalu 'The Ringmaster's Daughter' - Jostein Gaarder. Pastilah tentang mempertanyakan kehidupan. Dan bermain-main dengan pikiran. Maka aku menjadi terlalu banyak mempertanyakan. Direndahkan karena mempertanyakan yang tidak perlu ditanya bagi orang lain.

Yang paling baru '1984' - George Orwell. Katanya 'manusia sebenarnya hanya bebas dalam sekian sentimeter kubik dalam kepalanya.' Karena itu bagiku tiap manusia beda hanya karena sekian sentimeter dalam kepalanya. Apa yang dipikirkan, dipercaya, diyakini, diperjuangkan.

Nah sementara buku-buku itu yang berpengaruh dalam hidupku. Ada banyak sekali buku yang kusuka tapi belum kuambil tindakan apa-apa atasnya.

27 September 2012

Hidup Sekejap Penyu Sisik

Pernahkah kau mendengar tentang kisah hidup penyu sisik?

Tengah malam itu, di kegelapan, terdengar bunyi retakan. Awalnya seperti sekilas. Namun lama-lama bersahut-sahutan.

Itu suara ratusan telur penyu sisik menetas. Satu-satu penyu mungil keluar serempak, terdesak-desak, terburu-buru. Ramai.

Dunia gelap dalam pasir, langit gelap di luar pasir. Seburuk itukah dunia? Hanya seekor penyu mungil yang bertanya. Kakinya cacat.

Serempak seluruh penyu sisik mungil menuju laut yang menyahut. Ketika taktahu apa harus dilaku, maka hati lah penunjukmu.

Namun sekelebat bayang bersidekap. Kepak makhluk entah apa menekan keberanian. Tatapan pasang mata mengintai tekad.

Teriakan pertama terdengar di depan diiringi bayangan menyambar. Disusul rentetan serangan bayangan bertubi. Teriakan menyayat bersahutan.

Apa yang terjadi?! Teriak penyu sisik mungil dengan kaki tak sempurna. Ada apa dengan dunia? Kenapa pembantaian dianggap normal?

Tentu saja tak ada yang menjawab. Kakak-adiknya dibawa terbang sekawanan burung pelikan, ditelan kenyang gerombolan biawak hutan.

Belum lagi ribuan telur penyu tak sempat menetas dicuri makhluk serakah bernama manusia.

Penyu sisik mungil tidak tahu, bahwa hanya 10 ekor penyu yang dapat bertahan dari seribu telur yang ditetaskan.

Sebuah bayangan menukik ke arah penyu sisik lengkap di depannya. Ia melompat menyerahkan diri. Meski tadinya tak mungkin.

Ia mengangkasa. Makhluk bersayap mencengkram tempurung dan angin keras menampar. Ah, ia menyelamatkan saudaranya. Takapa, dirinya toh cacat.

Ajalnya dekat. Apa yang sudah ia perbuat dalam hidupnya yang singkat? Tanyanya tercekat. Ia lihat saudaranya hampir tak ada yang selamat.

Tapi penyu kecil yang ditolongnya berhasil mencapai garis pantai. Barangkali, ya barangkali, ia hidup untuk menyelamatkan satu nyawa.

Barangkali, hidup singkatnya berharga karena satu lompatan tak mungkin. Tapi setidaknya ada maknanya. Ada arti keberadaan hidupnya di dunia.

Ia menutup mata dan tersenyum. Jatuh bebas ke karang yang memecahkan ombak dan tempurungnya.

Malam itu, retakan bersahut-sahutan. Namun bukan tetasan telur. Kali ini pecahan tempurung. Milik penyu sisik mungil dan hidup singkatnya.

Kisah Cinta Laba-Laba Betina

Ada sebuah kisah tentang seekor laba-laba betina. Ia berbeda. Ia luar biasa. Ia hebat. Ia penuh akan dirinya sendiri.

Ia buat jaring di mana-mana. Ia punya mimpi besar.

Tentu banyak jantan terperangkap jaringnya. Siapa yang tidak jatuh pada laba-laba betina yang mandiri, berkarakter, dan luar biasa?

Dengan mudah jantan ditaklukkan. Lalu dimakan. Biasa saja. Semua jantan sama rasa sama rupa. Selesai satu, ia buat jaring baru.

Ya baiklah, memang ada jantan yang berbeda. Ada yang benar cinta. Ada yang berkelana. Tapi tetap saja, laba-laba betina tak punya rasa iba.

Entah berapa jantan telah ditelan. Entah berapa jaring telah disulam. Laba-laba betina berjaya.

Sampai suatu ketika, tak ada ruang yang tersisa karena kerja keras sulamnya, tak ada jantan yang terperangkap karena habis ditelannya.

Ia pun kesepian sendirian. Ah ya, selama ini pun ia kesepian meski ditengah banyak mimpi dan banyak jantan.

Ia hilang kendali pada pijakannya. Jatuh. Terperosok. Terperangkap pada jaringnya. Tak kuasa memberontak.

Lalu mati menjadi pilihan. Meski menghadapi kematian sendirian dalam jaring sepi yang dibuatnya sendiri, adalah tragis.[]

08 September 2012

Mempertanyakan

Kenapa memangnya dengan mempertanyakan?
Hobiku menulis catatan dalam bentuk daftar pertanyaan setiap harinya.
Aku tidak tahu kenapa dengan orang-orang. Sepertinya mereka peduli sekali padaku yang suka mempertanyakan dan tidak berhenti mempertanyakan meski mereka semua bersikap seperti berikut padaku.

Seseorang mengasihani diriku yang lebih sering menghabiskan waktu sendirian dan menuliskan pertanyaan dalam buku catatan daripada menanyakannya pada orang lain. Ia memintaku lebih banyak bersosialisasi pada orang lain karena dianggapnya aku asosial. Ia berjanji pula untuk membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kuajukan dengan membawaku menemui ahli-ahli yang bisa menjawabnya. Namun orang itu pada akhirnya meninggalkanku tiba-tiba. Lupa akan janji-janjinya. Dan aku tetap menuliskan pertanyaan.

Seseorang lainnya melihat buku catatanku terbuka dengan tak sengaja dan penasaran tentang apa yang sedang kutulis. Maka kujelaskanlah. Lalu dia bilang, hidupku terlalu penasaran sekali, kalau aku mati sekarang ini, mungkin aku menjadi hantu penasaran yang menjadi arwah gentayangan karena memiliki banyak pertanyaan yang belum terjawab. Begitukah? Aku sih biasa saja.

Seseorang lainnya merasa bahagia karena aku mempertanyakan. Katanya, ia percaya bahwa aku mampu melalui setiap proses yang terjadi dalam hidupku. Dan mempertanyakan hidupku dengan menuliskannya adalah sebuah proses pendewasaan yang tidak semua orang berhasil melaluinya dan melalui jalan yang sama. Aku terharu sekali, di saat krisis kepercayaan yang terjadi pada diriku, ternyata masih ada seseorang yang percaya pada orang sepertiku.

Dua orang lainnya membuka catatanku diam-diam dan menggosipkannya bersama. Aku akhirnya tahu apa yang telah mereka lakukan. Tapi tidak marah, karena memang tidak ada yang perlu ditutup-tutupi dari pertanyaan-pertanyaanku, aku hanya penasaran. Kenapa ada orang yang penasaran tentang apa yang sedang dipikirkan orang lain? Aku bukan orang terkenal, aku kan biasa saja. Aku mempertanyakan dan aku menyimpulkan jawaban. Bukankah setiap orang sebenarnya juga melakukan hal yang sama namun mereka hanya tidak sadar saja? Kenapa penasaran dengan pikiran orang lain? Kenapa tantangan terbesar dalam menuliskan catatan harian itu adalah orang lain yang penasaran dengan apa yang ditulis seseorang?

Seseorang lainnya membuka buku catatan harianku, membaca daftar pertanyaannya, dan menjawabnya apa adanya dengan mudah sekali seperti menjawab buku Teka Teki Silang. Kenapa aku mempertanyakan dengan sulit sekali namun ada yang mudah sekali menjawabnya? Terlepas dari jawaban yang diberikan benar atau salah.

Seseorang mempertanyakan apakah aku akan membukukan buku pertanyaanku. Lalu kujawab ya. Lalu apakah aku menyertakan jawabannya dalam buku itu, tanyanya. Tentu saja tidak, bahkan mungkin ada banyak pertanyaan yang tidak bisa kujawab hingga aku mati. Lalu apa poinnya, mempertanyakan tapi tidak memberikan jawabannya, tanyanya lagi. Kujawab dengan pertanyaan retoris, bukankah mempertanyakan dan menjawab pertanyaan adalah dua hal yang berbeda. Lalu kujawab terakhir kalinya, setidaknya untuk membuatnya puas, barangkali kunci jawaban untuk segala pertanyaan manusia ada di Al-Quran.

Seseorang lagi memperingatkanku tegas agar berhati-hati dengan pertanyaan-pertanyaanku sendiri. Meski aku orang yang terlalu banyak berkontemplasi, setidaknya aku harus tahu batasan agar tidak sampai menjadi gila. Namun apa artinya gila? Barangkali seorang gila hanyalah seorang minoritas di tengah dunia yang tidak berpikir sama dengannya.

Sisanya, orang-orang tidak peduli apakah aku mempertanyakan ataupun tidak. Aku pun juga, tidak peduli mereka mempedulikanku atau tidak.

An Aformisme

Kadang sesuatu terasa indah ketika begitu sangat ingin dimiliki, an.
Tapi ketika sudah dimiliki apalagi ditaklukkan,
tak terasa lagi indahnya.
Maka kubiarkan saja seperti ini.
Sementara.
Ya, barangkali sementara tak selama yang kukira.

---

Mungkin salah satu alasan aku sedang tidak ingin menjalin hubungan dengan laki-laki baru adalah karena aku sendiri butuh waktu untuk menyelesaikan urusan hatiku sendiri.
Sebelum berani mencuri hati orang lain lagi.

---

Apa itu kemerdekaan pribadi, tanya an suatu kali.
Kujawab, yang paling utama adalah kemerdekaan dalam menentukan sikap atau pilihan, terhadap apa saja.

---

Kamu,
ya kamu,
hati-hati jatuh cinta padaku.

---

Kalau suatu saat kau merindukanku,
apa yang kau rindukan?

---

Kan sudah kukatakan an,
aku tidak punya hati.
Maka aku hanya bisa memberikan kepercayaan dan persahabatan.

---

Nah, hari ini kubuat kau patah.
Apalagi yang akan kubuat padamu esok?

---

Bisa jadi kau menghadapi wanita serupa laut.
Kagum tak apa, tapi jangan sampai jatuh cinta.
Karena kalau kau biarkan, cinta bisa membuatmu tenggelam karena kedalamannya yang biru mempesona.
Membuatmu hilang kendali akan kapalmu dan hidupmu.
Dan tak ada jalan kembali.

Ia wanita berbahaya.

Barangkali ia perempuan pejalan yang membawa ransel berisi cinta.
Ia tak menyerahkan cinta pada siapa-siapa, dari tangannya, dan juga dari bibirnya.
Tapi ransel itu berlubang, cinta tercecer sepanjang jalan.
Ada di pungut orang, ada diperebutkan orang, ada diinjak orang.
Tapi ia tak peduli.
Pun tak menambal lubang ranselnya.
Meski tahu.

---

Kata-kata juga bisa menjauhkan manusia, an.

---

Dingin sekali.
Ya. Hati kamu.
Apalagi?

Seandainya saja air mataku
cukup panas untuk melelehkan hati bekumu itu.

Tadinya kupikir tidak ada tempat
yang memiliki semua iklim
dan mengalami semua musim.
Ternyata ada an.
Hatimu.

---

Hatiku ternyata berupa eskrim.
Yang akan terus membeku.
Mungkin hinga nanti meleleh karena senyummu yang entah kapan itu.

---

Bertanya 'kapan' itu memojokkan,
bertanya 'kenapa' itu mencerdaskan.

---

Aku tidak tahu an,
mana hujan, mana air mata, mana cinta.

14 Agustus 2012

Senjata Pemusnah (Mati) Kutu

Suatu kali ketika menunggu antrian E-KTP yang panjang itu, sepasang suami-istri tetanggaku, sedang berfoto-foto dengan hapenya. Alasannya biar ndak #matikutu ketika kutanyakan.

Tapi sebenarnya, apa sih yang bisa bikin aku atau kamu #matikutu?

#Matikutu itu bisa dibilang, kondisi ketika kita gak tau mau ngapain, dan ketidaktahuan mau ngapain itu sampe bikin bosen. Lah, tapi kenapa bisa sampai begitu?

Pada awalnya, hanya karena aku sedang ndak punya pulsa dan ndak ada sinyal henpon, itu bisa bikin aku bosen #matikutu.

Lalu ketika mati listrik juga. Juga ndak ada koneksi internet. Juga ketika batre gadget habis semua. Bisa langsung mendadak #matikutu. Tapi lantas kenapa tidak membaca buku?

Tapi ketika lupa membawa buku ke suatu tempat, aku hanya bisa mengumpat. Juga ketika datang ke tempat yang tidak ada buku sama sekali. Bagaimana bisa aku tahan ke tempat yang tidak ada bukunya? #matikutu

Lalu dalam kondisi seperti itu, kuambil buku catatan, kemudian menuliskan semua pertanyaan yang kupunya. Anehnya, pertanyaan itu tidak ada habis-habisnya! #matikutu

Aku telah menemukan senjata paling ampuh untuk mengusir #matikutu! Ternyata sederhana saja: hanya bermain-main dengn sekian sentimeter kubik dalam kepalamu.

Banyak orang tidak suka menunggu. Tapi aku tidak. Karena aku tahu ada banyak yang bisa kulakukan ketika menunggu dan tak takluk pada #matikutu.

Tak ada batre, tak ada pulsa, tak ada sinyal, tak ada listrik, bahkan tak ada buku pun semuanya sekaligus kurang untuk membuatku takluk #matikutu.

Karena aku bisa bermain tak ada habis-habisnya hanya dengan sekian sentimeter dalam kepalaku. Bahkan kalau dipenjara pun mungkin aku takkan #matikutu. Mungkin sih. Haha.

11 Agustus 2012

Bicycle Diaries Bagiku

Selesai urusan cetak #BicycleDiaries rasanya kayak udah selesai urusan di dunia. Tinggal berangkat ke akhirat. 

Tiap orang punya mimpinya masing-masing. Dan bagiku, mengarsipkan blog lamaku menjadi #BicycleDiaries adalah target penting dalam hidupku.

Mungkin bagi teman penulis lainnya biasa saja membukukan buku. Tapi tidak bagiku dengan #BicycleDiaries. Tiap orang punya prosesnya sendiri.

Menangis-meraung dari tenggorokan adalah hal pertama yang kulakukan setelah membawa pulang 100eks #BicycleDiaries dari@indiebookcorner.

Tangis raung lega, mimpi di tangan. Tangis raung haru, bantuan semua orang. Tangis raung lelah, setelah proses yang tak mudah. #BicycleDiaries

Air dari tubuh; air mata, darah, dan keringat (lirik lagu Bintang Revolusi) seolah-olah sudah kucucurkan demi #BicycleDiaries.

Orang mungkin nganggap rendah "Buku diary doang kok segitunya,". Justru karena catatan harian itulah kenapa buku #BicycleDiaries berharga.

Karena #BicycleDiaries adalah proses pembentukan diri selama lima tahun terakhir. Ia sangat berharga. Setidaknya bagi diriku sendiri.

Itulah kenapa aku memberikan effort yang sangat besar bagi #BicycleDiaries. Bahkan mempertaruhkan hidupku untuk buku itu.

Kalau tiba-tiba malaikat bertanya apa yang sudah kulakukan 22 tahun ini, aku tinggal menyodorkan #BicycleDiaries sebagai jawaban.

Untuk menurunkan #BicycleDiaries agar lebih murah diakses teman-teman, aku bertaruh mencetak 100eks, dan terancam puasa sebulan pada Syawal.

Untuk mencetak #BicycleDiaries, aku menagih hutang teman-teman dan berhutang pada teman yang lain. Dua tindakan yang sangat tidak menyenangkan.

Pekerjaan dengan motif uang pun kulakukan, disaat hati sementara harus bungkam dalam pekerjaan. Demi apalagi kalau bukan #BicycleDiaries.

Padahal orang sepertiku, yang tidak populer, bagaimana bisa punya fans sampai seratus orang untuk membeli bukuku? #BicycleDiaries

Aku gak biasa minta orang ikut caraku atau beli barang yang kusuka. Tiap orang kan punya kesukaannya sendiri. Apalagi untuk#BicycleDiaries.

Tapi alasan aku sampai berani bertaruh 100eks adalah karena kembali ke niat awal pembuatan #BicycleDiaries; mengarsip dan menginspirasi.

Aku meminjamkan #BicycleDiaries bagi siapa saja yang mau baca. Kalau mau punya, itu lain soal, haha.

Teknisnya aku membuat sendiri #BicycleDiaries kecuali percetakan dan pengajuan ISBN di @indiebookcorner, tapi buku ini ada karena semua orang.

#BicycleDiaries jadi dan aku menjadi manusia yang seperti ini karena ada bantuan dari semua orang dalam hidupku. Terimakasih banyak.

Aku tandatanganin #BicycleDiaries dan berterimakasih pada tiap orang atas pengaruh mereka dalam hidupku, rasanya kayak ngucapin perpisahan.

Curhatin #BicycleDiariesnya udahan dulu, pamit pulang dulu ya teman-teman.

05 Agustus 2012

Kunang Kunang

Seekor kunang berpendar di kebun
Sendirian dan tersesat

Pada kepakan kunang lain ia berharap
Pada sinyal seluler ia bertarung
Pada pekat kegelapan ia berselubung

Kepak kunang melawan malam
Cahaya kunang berpendar lemah
Hidup kunang berlangsung sejenak
Lalu mati

Barangkali serupa itulah cinta kita

Dualisme Perbandingan Individu

Aku sampai pada kesimpulan bahwa:
Semua manusia itu sama dan di saat bersamaan tidak ada satupun dari mereka yang sama.

Manusia sama dalam arti hak hidupnya, hak untuk makan, hak politiknya, hak untuk berkembang, hak untuk bicara, dan hak menjadi manusia. Tapi di sisi lain, tidak ada seorang manusia pun yang sama. Tiap manusia memiliki keunikan masing-masing. Tidak ada seorang pun yang sama dalam hal karakter, sifat, dan kepribadiannya. Tiap manusia spesial, bukan produk massal.

Maka perlakukanlah manusia yang lain dengan setara dan sama, dan di saat yang bersamaan, perlakukanlah masing-masing dengan istimewa.

22 Juli 2012

Sebuah Resensi; Epileptik 1 - David B.

Tadinya aku tidak mengerti apa arti epileptik. Ternyata penyakit Epilepsi. Novel-grafis ini bercerita tentang keluarga penulisnya yang memiliki anak tertua, kakak lelaki David, yang memiliki penyakit epilepsi.

Penyakit epilepsi ini diceritakan dianggap penyakit menjijikkan sehingga dicemooh masyarakat sekitar. Selain itu, penyakit ini pun dimanfaatkan oleh banyak dokter dan ilmuwan untuk diteliti dan nantinya mereka bisa terkenal. Aku suka sekali gambar covernya. Gambar ayah, ibu, dan kakak David yang dikelilingi berbagai macam dokter dan ilmuwan yang memanfaatkan mereka.

Namun komik ini tidak melulu tentang penyakit kakak David. Isinya bahkan ada tentang perang-perang yang pernah terjadi di Prancis, maupun yang di Asia jauh sana, juga perang-perang yang pernah dilakukan oleh kakek-kakeknya. Alasan David memasukkan cerita peperangan itu sangat sederhana. Sejak dulu keluarganya berjuang dalam perang, dan bukankah kakaknya, Jean-Christopher, juga sedang berperang melawan penyakitnya sendiri?

Lagipula David kecil adalah maniak perang. Ia suka sekali pada buku-buku perang, pembunuhan, pembantaian. Maka ia pun sejak kecil sudah menggambar peperangan beserta Jendral-Jendral yang dibayangkan selalu menjaganya. Idolanya Genghis Khan. Ia pun tidak takut hantu. Ia menggambar monster-monster, bahkan roh kakeknya dianggapnya berbentuk burung. Ia juga menggambar penyakit epilepsi, penyakit kakaknya itu, dalam wujud naga totem yang melilit dan menyerang kakaknya kapan saja. David tidak takut semua itu. "Aku mungkin takut manusia, hidup, masa depan. Tapi aku tidak lagi takut hantu, penyihir, vampir, atau setan." katanya.

Aku sendiri kurang mampu memahami keliaran cara pikir David. Ia terlalu banyak menciptakan tokoh imajinasi, juga melompat-lompat dalam bercerita. Tapi anak yang banyak membaca, berpikir merdeka, lalu menggambar imajinasinya adalah anak yang sangat menarik. Tidak ada salahnya membaca buku ini.

Gudang Menghadap Jendela.
Rumah Jogja.
5 Juli 2012.

21 Juli 2012

New Profile on Postcrossing

Hi!
My name is Nadia. I live in Jogjakarta, Java Island, Indonesia.
I like reading great books, travelling, logging in twitter, and writing love-letters.

I'm an architecture student, and I love heritage building.
If you have any card with old building, old photo, old card, old advertise, or something retro, you can sent me that one.

I also like cards with handmade sketches, graphic-design pictures, pop-arts, or mural-grafities.
It will be nice if it's your own drawings.
Sometimes I send graphic-design pictures as postcards to others, people like them, but I do really sorry that I can't sent the same postcard, because I just make one of them.

I'm an activist. Hmm, let's say, amateur activist.
I care about the world hunger issue, water crisis issue, and third-world's problems.
The otherside, I hate the global capitalism and consumption, Palestinian occupation, and never ending wars.
I hope my excistence can make a little difference to this world.

I want to make a lot of friends around the world.
If you want to be my penpal, just tell me in your postcard.
I will be happy to have a far away penpal.

But if you don't have any idea which one the right postcard for me, you can sent any card you like :D

Let's make a better world!
See ya!

---

Kira-kira kalau aku pake profil ini, orang-orang jadi ndak ya ngirimin aku kartu pos? Hahahaha.

17 Juli 2012

Arsip Kicauan @DearObesePeople yang Pernah Terdengar

Aku suka sekali akun @DearObesePeople, dan marah begitu hanya dalam 5hari aktifnya ia disensor @twitter. 25-30Juni. Maka kumpulan twit ini kuarsipkan untuk diselamatkan.

Capitalism is an obese system trying to recreate citizens in its image. To fight obesity citizens must resist all consumerist and capitalist values.

Obesity is caused by a proliferation of the consumerist culture; you cannot lose weight until you take a political stand against consumerism.

Gluttony is a social sickness, it is loneliness, it is addiction;engage politically with society and your gluttonous inclinations will abate.

Gluttony is a sin against starving children, against mothers who can't afford to feed their children; share your world, eat less.

Seize control of your body, shed away the fat, devour the heavy lethargy, move towards political activeness.

Food commercials are poison for the mind; they are designed to brainwash you into feeling physically hungry.

You must see weight loss as your way of working towards a new less consumptive social system.

Fast food is addictive, there's no such thing as one bite or one sip; avoid it completely and start preaching against it.

Gluttony is caused by high reward foods: fats, oil, sugars, junk food; nobody is a glutton for vegetables.

Do not be a slave to food; do not allow fast-food corporations to control your personal urges and desires.

Overcome your physical hunger by organizing others and by participating in non-consumptive group activities.


Cleanse your spirit by turning your body into a revolutionary machine instead of a fast-food-eating-machine.
 
Junk food is terrible for your body and your mind; the sugars literally eat away at your brain cells.
 
Avoid eating at all restaurants; they use cheap ingredients to increase profit margins while your body and wallet lose.
 
Eat less not for the sake of vain desires but for the sake of creating a world where all human beings share equally in resources.
 
Fast food is chemically enhanced to insure that citizens become customers and customers become addicts.
 
Fast food should be the first thing that you abolish from your life if you seriously intend to seize your body back.
 
Turn weight loss into a political act; use it to embolden yourself, to build a healthy, revolutionary, psychology.
 
Your desire to overeat stems from a general social mood of excessive consumption; sever your consumerist drive.
 
A healthy body will make it easier for you to feel motivated on every level, including the political and social levels.
 
Overeating is a selfish act that is promoted by a brutally selfish consumerist society.
 
Free your mind from addictions to overeating by shifting your energy, away from the consumptive, towards the creatively productive.
 
Free your mind from attachments to food by revolutionizing the way you see yourself and your society.
 
Your spiritual hunger is the cause of your weight problems; the human soul demands action, freedom, social vitality, not addictive fries.
 
Capitalism encourages citizens to be greedy, gluttonous and avaricious; decapitalize your soul, seize your world!
 
Your desire to overeat stems from the fact that capitalism is a greedy system and it wants to create citizens in its own image.
 
Use the spiritual energy of revolution to turn your hunger into a political hunger for freedom and equality.
 
To destroy your obesity problem, you have to change the way you see yourself; you must become an active citizen not a passive consumer.
 
Learn how the corporate class profits economically from an obese populace.
 
Avoid all expensive, pretentious, foods; avoid heavy complicated foods, eat simple foods: vegetables, fruits, bread, etc etc.
 
You must see weight loss as your way of lowering your intake of calories, energy, resources.
 
You must subdue your voracious appetite for food by deconstructing your mind's attachments to consumerist values.
 
Be cognizant of the fact that food ads attempt to turn your spiritual and political hungers into a hunger for burgers and fries.
 
Overcome your addiction to food by focusing your energy on other things: physical activities, political activities, social activities.
 
Junk food is riddled with chemicals, with preservatives, with thousands of excess calories that your body does not need.
 
Capitalism is an obese political system and it conditions citizens to crave food in the same way that it craves resources (eg. oil).
 
Cook your own food, understand what you are eating; you will burn calories while cooking and it will reduce your food intake.
 
The mass media sells food addiction; it is scientifically proven that turning off the TV results in eating less.
 
Avoid eating at all restaurants; they turn eating into a socially consumptive experience and this will continue to result in overeating.
 
Junk food should never be used to satisfy sudden bouts of hunger; eat an orange, an apple, or simply wait for meal time.
 
Binge eating will not only ruin your body, it will make you more addicted to food; the goal is to shed the fat by shedding the addiction.
 
A healthy body is far more likely to revolt against the capitalist class than a lethargic, overweight, weighed-down, body.
 
Gluttony is a sin against every single starving human being in this world.
 
Detach yourself from food whenever you feel a violent desire to eat; go for a walk, eat an apple, read a book, call a friend.
 
Revolutionize your mind by slowing down your eating and speeding up your political aspirations.
 
Share your meals with others; split your sandwich and share it with another, the more you share, the more calories you will lose!
 
The upper class wants you obese and unenergetic; so that you may not become an active, revolutionary, citizen.
 
Eat all of your leftovers; this will help you build a less commercial understanding of food and your food eating habits.
 
Avoid eating at all restaurants; they turn food and eating into a commodity which turns you into a consumptive entity.
 
Fast food corporations use emotional branding to control the eating urges of children as young as 3 months; avoid all fast food.
 
Your desire to overeat stems from living in a capitalist society that's obsessed with more, more food, more products, more purchases.
 
Cook your own food; even something as simple as preparing your own sandwich is far superior to buying ready meals.
 
Turn weight loss into a political act against an upper class who wants to fatten you up and keep you socially lethargic.
 
The mass media is owned by the capitalist class and their goal is to intensify your consumptive appetites so they can make more profits.
 
Obesity is caused by the proliferation of selfish, greedy, capitalist values; part of losing weight is denouncing capitalist-consumerism.
 
Cook your own food; this is perhaps the most important factor in losing weight.
 
Abolish your fears of hunger; they have become unnaturally intense because every food commercial reminds you that you're 'hungry'.
 
Revolutionize your mind by moving towards a healthy body, free of excess fat and violent eating urges.
 
Liberate your soul from the sickness of materialistic obsession; desire freedom, desire justice, desire a new world.

Capitalism is an obese political system and this is the reason why capitalist societies are facing a morbid obesity crisis.

Gluttony is a sin against humanity and the billions who sleep hungry each night.

Be cognizant of that fact that food ads are made to manipulate the viewer into desiring corporate, manufactured, unhealthy, food.

Weight loss surgeries are useless; the way to lose weight is to revolutionize the way you see consumption and the consumerist society.

Liberate your soul from the heavy weights of consumptive habits; become lighter, more alive, more ready for political action.

Shift your perceptions of happiness; happiness is building, creating, sharing, not consuming all alone in a corporate food chain.

Do not be a slave to food; eat to live, never live to eat.

Capitalism encourages beastly appetites because that's how it generates mindless growth; decapitalize your instincts!

Seize control of your body, seize control of your will power, seize control of your energy; be lethargic no more!

---

Take actions then!

16 Juli 2012

Boikot yang Kulakukan

Tiba-tiba aku sadar, ternyata aku punya banyak pantangan dalam berperilaku. Bukan anti juga. Tapi mengurangi atau menghindari. ‪#boikot

Atau kalaupun belum, setidaknya punya niat untuk melakukannya. ‪#boikot

Kasarnya sih pakai kata ‪#boikot‬, agak halus dan agak gaul sih ‪pakai kata #diet‬. Diet impor, diet protein, apa aja deh, diet dompet juga boleh ;D

(1) Aku memilih tidak punya motor pribadi. Aku bisa naik sepeda, trans jogja yang lama itu, dan ya ngasih rejeki tukang ojek. ‪#boikot

(2) Aku tidak pakai Blackberry. Tuduhan kapitalisku memang mentah. Tapi aku tidak suka ide kalau harus punya merek handphone yang sama untuk bisa menghubungi seseorang. ‪#boikot

(3) Aku tidak beli T-Shirt lagi. Aku sudah punya setumpuk. Dua minggu aku gak nyuci pun masih bisa. Aku tidak punya alasan beli lagi. ‪#boikot

(4) Aku menghapus akun FB krn: FB menjual data akun untuk analisis pasar kapitalis, gak adanya tombol 'dislike', juga gaya hidup facebook. ‪#boikot

(5) Aku gak akan pernah mau ke Starbucks. 95% kopi mereka berasal dari ladang yang dieksploitasi parah. ‪Dan buruh mereka digaji rendah sekali. Seorang buruh butuh upah tiga hari kerja untuk bisa membeli segelas kopi di Starbucks. #boikot

(6) Aku tidak minum Coca Cola, atau Pepsi. Karena mereka supporter utama zionisme, gaya hidup konsumerisme, dan gak penting juga. Aku kan gak akan mati kalau gak minum mereka. Malah sebaliknya kan. ‪#boikot

(7) Aku gak makan McDonalds, KFC, PizzaHut, karena mereka pendukung zionisme, gaya hidup konsumerisme, kapitalisme raksasanya, dan gak penting juga. Sama, aku juga gak akan mati kalau gak makan itu. ‪#boikot

(8) Aku gak makan eskrim Baskin Robins dan menghindari Wall's. Sama dengan alasan sebelumnya. Enakan es dungdung atau bikin sendiri. ‪#boikot

(9) Aku mengurangi makan mie dan roti. Meski tergoda. Karena meski pabriknya di Indonesia, tapi kan kita impor semua gandumnya. ‪#boikot

(10) Aku mengindari beras impor. Meski kadang gabisa ngecek asal muasal negara si nasi yang bersangkutan. Lagipula enakan beras Rojo Lele Delangu dari Klaten dong! ‪#boikot

(11) Aku ga pake gula impor. Apa manisnya gula putih begitu? Yang ada bikin pahit nasib petani tebu. Lagipula manisan gula pasir kuning lokal. ‪Bonus senyum manis dari aku. Hahahahaha. #boikot

(12) Aku gak pake garam impor. 50% kebutuhan garam kita impor loh, dengan garis pantai seluas ini! Yang ada malah menggarami luka petani garam kita dengan garam impor. ‪#boikot

(14) Masih banyak impor-impor lain. Buah, pakan ternak, daging sapi, singkong! Amannya sih seafood lokal atau tanem singkong sendiri. Haha. ‪#boikot

(13) Aku maunya gak konsumsi Air Minum Dalam Kemasan lagi. Karena sumber mata air yg dimonopoli bikin konflik lingkungan dan sosial. ‪Tapi sekarang masih belum. Masih sibuk ngumpulin uang buat beli keramik filternya. #boikot

Sementara segitu ingetnya. Itu pantanganku buat diriku sendiri. Gak urusan kalau oranglain. Karena aku bebas milih, pun oranglain. ‪#boikot

Karena itu juga kalo ketemu aku di salah satu gerai KFC jangan kaget. Keluargaku suka sekali makan di sana meski aku satu-satunya yang gak makan. ‪#boikot

Setelah kultwit yang menyebalkan, maka mari lihat seberapa banyak yang memboikot akun twitterku. Hehe. ‪#boikot

Book of Questions - Buku Catatan Baruku





Aku terbiasa menulis dalam sebuah buku catatan.
Kalau sedang terlalu banyak pikiran, aku terbiasa menulis.
Atau kalau sedang tidak ada yang kupikirkan atau kukerjakan, aku juga menulis.

Dan aku kemana-mana hampir selalu membawa buku catatan meski tidak selalu bisa menuliskan di sana. Ketika suatu kali aku tidak membawa buku catatan, aku pasti segera ke warung terdekat, untuk membeli buku tulis seharga seribu dua ribu rupiah. Jenis buku tulis yang kupakai untuk menulis bisa apa saja. Tidak ada batasan. Sehingga setumpuk buku catatan yang kupunya memang bentuknya beragam. Dari buku tulis tipis untuk sekolah, binder untuk kuliah, buku dengan jilid spiral, buku agenda, sampai buku saku. Ada buku-buku tulis yang sudah penuh. Ada buku-buku yang tidak selesai sampai penuh tapi sudah tidak kuisi lagi. Macam-macam.

Namun sebagian besar bentuk tulisan dalam buku-buku itu berupa artikel singkat. Sebuah tulisan yang terdiri dari beberapa paragraf dalam satu tema kemudian selesai. Sehingga pantas bila langsung masuk blog. Dan beberapa tulisan yang ada di blog ini sebelumnya aku tuliskan dulu dengan tangan di buku catatanku itu.

Tapi bentuk tulisan seperti itu sekarang sudah tidak nyaman lagi kulakukan. Ada cara menulis catatan harian yang mungkin tidak biasa bagi orang lain, tapi sangat nyaman kulakukan. Yaitu membuat daftar pertanyaan.

Seiring perjalanan, aku akhirnya menemukan bahwa aku berpikir dengan cara mempertanyakan. Aku memiliki terlalu banyak pertanyaan di dalam kepalaku. Yang kadang kala beban pertanyaan-pertanyaan itu tidak sanggup kutanggung sendiri. Pertanyaan-pertanyaan itu ada yang memacuku untuk menulis tulisan singkat, ada pula yang menjadi inspirasi menulis cerpen, atau buku, atau yang lain. Kusadari bahwa ternyata semua tulisan-tulisanku bermula dari pertanyaan. Tapi aku punya banyak sekali pertanyaan, yang tidak semuanya bisa segera didapatkan jawabannya. Ada banyak pertanyaan yang tidak aku lanjutkan menjadi tulisan atau cerpen. Maka semakin lama semakin bertumpuk menekan kepalaku. Semakin lama semakin mendesak air mataku. Akhirnya aku memutuskan untuk menuliskan semua pertanyaanku setiap hari.

Maka lahirlah buku ini. Book of Questions. Because Life is Full of Questions.

Sudah satu bulan aku menulis pertanyaan-pertanyaanku di buku ini. Ada kalanya ketika tidak ada pertanyaan dalam sehari. Ada kalanya aku tidak sempat menuliskan pertanyaan. Hingga ada kalanya aku menuliskan delapan puluh pertanyaan dalam sehari. Pertanyaan apa saja. Ada pertanyaan yang biasa ditanyakan orang. Ada pertanyaan yang tidak pernah terpikirkan orang lain. Ada juga pertanyaan yang kata orang tidak perlu dipertanyakan lagi. Lantas kenapa? Apakah aku harus peduli?

Aku suka sekali kata-kata Goerge Orwell dalam bukunya Nineteen-Eighty-Four, "Sesungguhnya satu-satunya kebebasan yang dimiliki manusia hanyalah terdapat di sekian sentimeter kubik dalam kepalanya," terjemahan bebasku.

Aku mempertanyakan banyak sekali hal di dalam sekian sentimeter kubik dalam kepalaku itu. Dan buku tulis ini adalah keluarannya yang paling mentah, dan bagiku justru paling murni. Berbentuk pertanyaan-pertanyaan begitu. Karena aku tidak menyaringnya terlebih dulu. Sebenarnya tidak ada yang rahasia kalau ada yang membaca buku ini sekarang. Hanya saja aku takut menyakiti orang lain dengan pertanyaan-pertanyaanku. Maka aku melarangnya selagi buku ini masih kutulis. Karena kalau aku tahu buku itu dibaca, ini akan membuatku terpenjara dalam mempertanyakan lagi. Membuatku berpikir ulang kalau akan mempertanyakan sesuatu agar tidak menyakiti orang lain. Begitu sebenarnya.

Efek menulis buku pertanyaan ini sangat besar bagi pikiranku sendiri. Aku yang beberapa bulan sebelumnya sering menangis setiap malam karena terhimpit pertanyaan-pertanyaanku sendiri. Kini sedikit lega karena setidaknya sudah mengeluarkan pertanyaan itu dan siap untuk mempertanyakan hal baru lagi.

Buku pertanyaan ini sudah kutulis selama sebulan terakhir, dan aku sudah mengumpulkan 319 pertanyaan dalam sebulan itu. Aku memakai buku baru ketika itu, tapi baru sebulan saja, jilidannya sudah hampir lepas. Mungkin saja ia tidak tahan lalu hancur oleh gempuran pertanyaanku yang bertubi-tubi itu. Aku paham sekali, toh aku sendiri pun terkadang tidak tahan oleh sekian sentimeter dalam kepalaku yang mendesak-desak keluar itu.

Kalau suatu saat buku ini aku publikasikan, aku mau covernya nanti bergambar kepala yang transparan dan memperlihatkan sebuah kotak sekian sentimeter di dalamnya. Tapi itu pun masih nanti, mungkin ketika aku sudah melupakan pertanyaan-pertanyaanku sendiri. Dan tugasku sekarang adalah untuk terus menuliskan pertanyaan-pertanyaan ke dalam buku catatan baruku itu. Karena kata Socrates yang kubaca belakangan, "Hidup yang tidak dipertanyakan adalah hidup yang tidak pantas untuk diteruskan." Meskipun bagiku kata-kata Socrates itu masih perlu dipertanyakan.

Baiklah, biarkan aku mempertanyakan sendiri dalam buku catatanku.
Dan kamu, pertanyakanlah sendiri pertanyaanmu. Maka tulislah.

10 Juli 2012

Bicycle Diaries



---

Buku ini berisi catatan-catatan terpilih dari seseorang yang berusaha memahami dunia dari sudut pandangnya selama menjadi mahasiswa. Ia membicarakan ketidakadilan di Indonesia, kemunafikan pejuang-pejuang kampus yang mengatasnamakan rakyat, hingga kebebalan diri sendiri. Catatan yang terdapat dalam jurnal online lamanya yang sudah tidak diperbaharui lagi, kini dipilih dan ditulis ulang menjadi buku.

Vox audita perit, literra scripta manet. Suara yang terdengar akan hilang, kalimat yang tertulis akan tetap tinggal.

---

Aku akhirnya memutuskan untuk membukukan blog lamaku: nadanakaneh.blogspot.com, karena aku menemu-kan bahwa blog sederhanaku itu sedikit banyak telah meng-inspirasi orang lain, paling tidak satu dua orang. Blog itu pun yang telah membuatku belajar banyak hal, hingga aku menjadi manusia yang seperti ini.

Tulisan dalam bentuk blog memiliki keterbatasan manfaat bagi orang lain. Ia terbatas dibaca bagi orang-orang yang memiliki akses terhadap internet. Mereka pun semakin lama terkubur di dunia yang tiap detik menawarkan jutaan hal baru. Maka, aku pun memutuskan untuk memfisikkannya menjadi buku. Agar bisa bermanfaat bagi orang lain, dan terutama pengingat bagi diriku sendiri yang kadang lupa bahwa dulu aku pernah berani.

Aku dalam tulisan-tulisan ini adalah aku yang lama. Begitu banyak pikiran atau tindakanku dulu yang sekarang kusesali dan kuanggap sebuah kesalahan. Pada satu sisi, aku sama dengan aku yang dulu. Namun sebagian lagi aku berubah.

Aku menggunakan judul Bicycle Diaries karena tulisan-tulisan ini dibuat semasa kuliah tahun pertama hingga keempat, dan moda transportasi yang dimiliki hanyalah sepeda. Sepeda sangat sederhana. Namun ia sebuah bentuk perlawanan. Begitu juga tulisan yang lahir semasa kurun waktu itu. Tulisan-tulisanku sederhana, namun meskipun kecil, aku pun melawan.

Untuk pihak-pihak yang kusebutkan keburukannya dalam buku ini, aku mohon maaf sebelumnya, karena memang seperti itulah keburukan yang aku lihat dari pihak-pihak itu saat itu.

Ucapan terima kasih aku sampaikan kepada Allah yang masih memberi kesempatan waktu untuk menyelesaikan buku ini sebelum aku mati, Rasulullah sebagai satu-satunya manusia yang paling bisa digantungkan harapan padanya, Mama dan Papa yang kalau bisa jangan baca buku ini sebelum aku mati, Asti Dimas Salsa semoga kalian tidak hidup seperti mba kalian ini, terima kasih untuk bapak ideologisku Mas Firman yang entah berapa kali aku telah mengecewakannya, terima kasih untuk Haikal yang sudah menemaniku selama lima tahun namun ternyata jalan kita berbeda, Melyn, Mas Adhi, Mas Hilmy, keluarga imajinerku berpetualang, Amar yang baik hati membawakan makanan ke rumah, Mas Panda yang kuharapkan terus pengantar pembaca pertamanya, kru radiobuku dan indiebookcorner yang semoga kedepannya bisa bekerja sama lebih banyak, semua nama orang yang terdapat dalam buku ini; sahabat-sahabat di kampus, teman-teman di BEM, dosen, atau siapapun. Juga pada Kangmas Renggo yang membantu dalam pengambilan keputusan dalam proses pencetakan dan penjualan. Dan tidak lupa terima kasih pada siapapun yang pernah membaca tulisanku kemudian memberi apresiasi dan kritikan.

Terima kasih pada Indonesiaku yang kalau keadaanmu tidak menyedihkan seperti sekarang aku mungkin tidak akan peduli. Juga terima kasih pada pemerintah yang tidak bisa diharapkan sehingga aku bisa tahu serunya demonstrasi.

Semoga hutangku pada Indonesia dan dunia sedikit terlunasi dengan selesainya buku ini. Jangan ingatkan pada skripsi, tolong.

JUNI 2012
Nadia Aghnia Fadhillah

---

Karena buku ini aku cetak terbatas dan aku sebar terbatas, bagi yang berminat bisa menghubungiku langsung, baik mensyen di twitter @nadanakaneh, email di mudaberanidanberbahaya@gmail.com, dan atau nanti bisa melalui sms. Untuk teman yang ingin meminjam, bisa datang ke rumahku di Jogja. Untuk teman-teman yang ingin memiliki bisa mengganti biaya cetak sebesar Rp 30.000,- kalau kita bisa janjian bertemu langsung sekedar minum kopi atau mengobrol. Untuk teman-teman yang tidak bisa ketemuan, bisa ditambah biayanya dengan ongkos kirim. Terima kasih. Silahkan diapresiasi.

Kecenderungan Bunuh Diri

Ada seorang sahabat. Ia seorang gadis yang memiliki kecenderungan bunuh diri. Dan ia bangga karenanya. Dia mengatakan kecenderungannya itu pada semua orang. Kecuali pada orang tuanya. Karena sebenarnya sahabatku ini tidak tega orangtuanya sedih kalau tahu ia ingin bunuh diri.

Aku tidak paham dengan alasannya ingin bunuh diri. Entah aku benar tidak paham. Entah aku tidak ingin paham. Dia pun menjelaskan dengan sekenanya. Entah tidak ingin aku paham alasan sesungguhnya. Entah pula ia sendiri pun tidak paham dengan alasannya. Ia menjelaskan alasannya dengan berputar-putar, kadang juga sepenggal-penggal.

Sahabatku ini selalu berpikir untuk bunuh diri. Meskipun sampai saat ini ia tidak pernah melakukan percobaan bunuh diri yang sebenarnya. Ia tidak pernah memulai. Atau mengambil ancang-ancang. Setidaknya sampai sekarang. Setelah bertahun-tahun keinginan bunuh diri itu dimilikinya.

Menurutku ia agak pengecut. Membual pada semua orang bahwa ia ingin bunuh diri, tapi tidak pernah dilakukannya. Ia juga agak munafik. Memaki dunia bertubi-tubi tanpa henti, tapi yang dilakukannya adalah berbagi tiap hari. Dunia memang pantas dimaki, tapi kehadirannya di dunia justru yang membuat dunia tidak mutlak buruk telak. Sayangnya ia tidak sadar itu.

Malam tidak bisa dihabiskannya sendiri. Kadang dibaginya malam dengan mimpi-mimpi buruk. Kadang dibaginya dengan desir angin malam. Selebihnya ia menenggelamkan diri pada buku-buku. Sampai malam habis dengan sendirinya. Ia tidak takut kelamnya malam. Namun entah kenapa jauh lebih takut pada biru segarnya pagi.

Ia sering sekali tergoda pada kecenderungannya bunuh diri. Selalu membayangkan menikam jantungnya dengan gunting ketika sedang menggunakan gunting untuk membagi kertas. Itulah kenapa gunting-gunting selalu disembunyikan ketika tidak digunakan. Selalu membayangkan menggores lehernya ketika menggunakan pisau dapur. Itulah kenapa pisau-pisau dapurnya tidak pernah cukup tajam. Selalu membayangkan meminum obat tidur lima kali dosis seharusnya ketika menenggak vitamin hariannya. Itulah kenapa obat-obat selalu dibawa sesuai dosisnya. Selalu membayangkan untuk mengiris pergelangan tangan sendiri tiap melihatnya. Itulah kenapa ia menyamarkan pergelangan tangannya dengan gelang-gelang bertumpuk.

Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi temanku ini. Aku sudah hilang kesabaran mempertanyakan alasannya memiliki kecenderungan bunuh diri. Haruskah kutinggalkan saja? Atau terus kudesak dengan paksaan-paksaan menikmati hidup? Tapi kalau kudesak, giginya merapat dan rahangnya mengaku. Kadang juga matanya berkaca-kaca.

Kemudian aku ditinggal sendirian dalam kubangan rasa bersalah. Entahlah.

Alasanku Menulis Surat dan Mengirimkannya Melalui Pos

Seru ya mengirim beberapa helai surat dan kartu pos dari Kantor Pos Besar Malang. Semoga bisa selalu mengirim dari kota-kota yang disinggahi kedepannya.

Banyak yang mempertanyakan, kenapa hari gini, aku masih menulis surat tulis tangan dan kartu pos lalu mengirimkannya dengan perangko.

Maka sekarang akan kujelaskan alasanku.

Surat yang dikirim melalui pos adalah sebuah mesin waktu. Banyak hal yang terjadi antara surat ditulis hingga dibaca. Ia adalah suara dari masa lalu.

Menulis surat tulis tangan adalah perlawanan sederhana pada gaya hidup instan. Semua hal butuh proses. Dan terkadang proseslah yang paling penting.

Dengan surat tulis tangan, aku tahu penulisnya introvert atau ekstrovert, hubungannya dengan orangtuanya, bohong tidaknya, dan sikapnya terhadap masa lalu maupun masa depan.

Menulis surat tulis tangan itu personal dan spesial, tidak bisa di-copypaste dan dikirim pada banyak orang sekaligus. Hanya kepada satu orang.

Menulis surat tulis tangan adalah latihan membulatkan tekad. Tidak bisa setengah-setengah. Harus fokus.

Dengan mengirim melalui pos aku bisa punya banyak kenalan baru, dari Mas Pos yang mengantarkan surat ke rumah, hingga Mbak Pos cantik di balik meja.

Dari korespondensi aku pun bisa membuat museum kecil berisi perangko, kartu pos, dan cap pos dari kota-kota yang bahkan belum pernah dijejaki kakiku.

Bahkan sekian milimeter persegi dari selembar perangko yang direkatkan dengan bibir, punya ceritanya sendiri.

Dan dengan masih berkorespondensi, aku memperlambat punahnya dunia yang sudah berlangsung berabad-abad itu. Dunia itu bernama pos.

09 Juli 2012

Kupikir Kita Sama-Sama Paham

Kupikir kita sama-sama paham. Bahwa tidak perlu membicarakan masa lalu. Tidak perlu aku tahu siapa yang bersamamu di waktu yang lalu. Tidak perlu juga kamu tahu dengan siapa kuhabiskan masa laluku. Kupikir pun kita sama-sama paham. Bahwa tidak perlu membicarakan masa depan. Aku tidak ingin membicarakan masa depan, punya atau tidaknya pun aku tidak yakin. Kamu pun tidak suka dipertanyakan mengenai persiapan masa depan. Kupikir, kamu dan aku menjalani semuanya seperti apa adanya. Sekarang aku bersama kamu, dan kamu pun bersamaku. Tidakkah itu cukup?

Tapi ternyata sulit sekali memahamimu. Dan kamu pun kesulitan memahamiku. Aku mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan, kamu pun mulai mendesak kemauan-kemauan. Lalu kenapa harus menjadi seperti ini?

16 Juni 2012

Buku dan Kemampuannya Mengubah Dunia

Buku dapat mengubah dunia, katanya.

Sebuah buku dapat menyulut perang dan genosida, misalnya jilid 1 dan 2 Mein Kampf yang ditulis Hitler. Sebuah buku dapat menggugat teori kebenaran sehingga terwujud dalam Revolusi Perancis, misalnya Prinsipia Mathematic yang ditulis Isaac Newton. Sebuah buku juga dapat mempertanyakan kekuasaan modal dan ketidakadilan kelas sosial yang ditimbulkannya, misalnya keempat jilid Das Kapital yang ditulis Karl Marx.

Tapi buku-buku itu tidak hadir begitu saja dalam bentuk buku lalu mengubah dunia dengan sendirinya. Untuk bisa mengubah dunia, ada beberapa tahap yang harus ditempuh sebuah buku:

1. Ditulis dulu.
Percuma sebesar apapun ide yang kamu punya, kalau tidak ditulis hanya akan sia-sia. Scripta manet Verba volant: yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin. Kamu khotbah di mana-mana atau jadi pembicara di seminar-seminar tetap saja akan mudah dilupakan dibanding kalau kata-kata itu dituliskan. Tulis di kertas dengan tangan, pahat di batu, ketik di komputer, simpan dulu ide di media sosial, atau apapun lah; tulis dulu.

2. Dicetak.
Aku tahu ini memang jamannya digital, tapi tetap saja buku yang sudah kamu tulis harus dicetak. Buku-buku digital memang lebih mudah disebar, namun tidak banyak orang yang mampu membaca buku elektronik. Maka cetaklah, bawa ke penerbit, kalau tidak ada penerbit yang berani menerbitkan bukumu, maka terbitkanlah sendiri. Cetak dengan bawa sendiri ke percetakan. Tapi pastikan pohon-pohon tidak akan sia-sia hidupnya dengan mengorbankan diri untuk mencetak buku-bukumu. Pastikan bukumu bukan buku yang sia-sia dibaca.

3. Disebarkan atau Didistribusi.
Buku-bukumu yang sudah dicetak, distribusikan ke orang-orang. Dengan gratis atau bayar itu tergantung kebijakanmu sendiri. Ide-ide dalam bukumu bisa kamu sebar melalui poster-poster dan ditempelkan di seluruh penjuru kota. Ide-ide juga bisa disebarkan melalui digital, misalnya media sosial. Namun perlu diingat bahwa menulis di media sosial tak ubahnya berkata-kata, mudah hilang mudah tenggelam. Karena di saat bersamaan muncul banyak informasi baru, dan tetap membuat buku tidak tergantikan. Ide-ide yang disebarkan melalui digital juga biasanya tidak menyeluruh, dan informasi yang sepenggal lebih rentan mengalami salah persepsi.

4. Dibaca.
Buku-buku hebat banyak dimiliki hanya untuk pajangan rak buku, seolah-olah pemiliknya juga ikutan hebat. Tapi justru itulah penyebab buku-buku itu kehilangan kekuatannya. Buku-buku menjadi hebat karena ia dibaca orang. Percuma bila tidak dibaca. Tulisan di dalamnya, isinyalah yang menjadi inti perubahan dunia. Maka bacalah buku-buku itu. Turunkanlah buku itu dari raknya yang berdebu. Baca sendiri, atau bacakan pada orang lain.

5. Diambil tindakan berdasarkan buku itu.
Setelah dibaca lantas apa? Buku adalah benda pasif. Ia dibaca. Ia memang katanya bisa mengubah dunia. Tapi sebenarnya yang bisa mengubah dunia adalah orang yang membaca buku itu, lantas mengambil tindakan dengan mendapatkan inspirasi dari buku itu. Melakukan aksi! Melakukan sesuatu! Tidak semua buku hebat pantas ditelan bulat-bulat isinya, dan dipatuhi semua kata-katanya. Ada berbagai macam tindakan terhadap buku selain menelannya bulat-bulat. Misalnya diet makanan impor setelah membaca buku laporan pangan Indonesia. Misalnya tidak minum air kemasan setelah membaca pengaruh perusahaan air minum terhadap irigasi lokal. Misalnya mendiskusikan atau membedah buku itu bersama teman-teman, atau hingga membuat buku tandingan bila tidak suka pada isinya. Yang penting melakukan sesuatu yang bertanggung jawab, tidak diam saja setelah membaca buku tersebut.

Maka, jadilah penulis yang memberikan kontribusi pada dunia.
Serta jadilah pembaca yang mampu mengubah dunia.

15 Juni 2012

mempertanyakan

Kalau besok pun aku mati karena minum kopi, aku akan terus minum kopi hari ini. Gak peduli!

Kalau besok pun aku mati karena pertanyaan-pertanyaanku sendiri, aku akan terus mempertanyakan hingga hari ini. Sampai nafas terakhir kuhembuskan aku akan terus mempertanyakan. Lagipula aku tidak takut mati.

Pembakaran Buku

Aku tidak percaya, hari gini, manusia masih saja melakukan pembakaran buku. Aku pun tidak habis pikir, kenapa mereka melakukannya? Buat apa?

Bukankah membakar buku adalah tindakan pengecut karena tidak berani menghadapi langsung? Melawan langsung? Bukankah seburuk apapun sebuah buku setidaknya ada sebaris manfaat yang bisa diambil dari sana? Menganggap seluruh isi buku itu hina kah?

Kalau kita di sini membakar buku lalu berani memaki orang yang membakar Al-Quran di Amerika sana, lantas apa bedanya kita dengan yang kita maki itu? Membakar buku adalah membakar sejarah, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan juga peradaban manusia, tidakkah kalian tahu itu? Lantas kalau dengan membakar buku, manusia mundur ke peradaban di masa lalu, kenapa masih dilakukan juga?

Sebenernya di Indonesia, untuk menentukan sebuah buku tidak boleh diedarkan, perlu keputusan pengadilan melalui Mahkamah Konstitusional. Ada sidangnya.

Pembakaran buku '5 Kota yang Paling Berpengaruh di Dunia', Penulis Douglas Wilson, terjadi Rabu, 13 Juni 2012 dilakukan oleh penerbitnya sendiri, Penerbit Gramedia. Yang sebelumnya lagi, inget ndak kasus Persepolis - Marjane Satrapi yang gak boleh diedarkan Gramedia itu, kan ga perlu sampe dibakar? Hanya tidak diedarkan secara bebas.

Untuk buku ini, alasan Gramedia, halaman 24 yang bermasalah, dan pihaknya menyalahkan editornya sendiri (pasti sebentar lagi ada yang dipecat), karena menerjemahkan apa adanya. Kalau halaman itu yang bermasalah, maka edit atau ralat halaman itu aja. Atau tambahkan catatan kaki serta permohonan maaf secara terbuka di media. Kenapa harus membakar?

Sudahkah Gramedia minta ijin pada penulisnya untuk membakar bukunya?

Kalau aku menulis buku, lalu ada bagian yang kontroversial dalam tulisanku, apalagi hanya satu halaman, lalu penerbitku membakar bukuku begitu saja, bagaimana rasanya? Bahkan pihak Gramedia tidak membela penulisnya sedikitpun!

Ada banyak banget buku yang gak aku setujuin isinya. Dengan berbagai macam alasan. Tapi kan gak perlu aku bakar.

Karena menurutku setiap pembaca dapat memilih peran ketika membaca. Apakah suka, percaya, dan tergila-gila dengan buku itu sampai semua kalimatnya ditelan mentah-mentah. Apakah aku tidak terlalu merasa perlu membaca genre atau bagian tersebut sehingga aku abaikan keberadaannya. Atau malah bersikap defense, setiap kalimat dalam buku itu aku tolak. Penolakan ini bisa dari tidak pernah merekomendasikannya kepada orang lain, menulis resensi tentang kejelekan buku ini, atau bahkan paling keras dilakukan dengan membuat buku tandingan yang jelas sumber dan latar belakangnya, jadi tidak hanya berdasar emosi semata. Toh Al-Quran juga begitu, kepada orang-orang yang membencinya, mereka ditantang langsung, kalau bisa membuat yang lebih bagus, buatlah. Itu juga, kalau bisa.

Dan tiap pembaca memang berhak memilih sikap apa yang dipilihnya ketika membaca buku. Asal bertanggung jawab dengan sikapnya.

06 Juni 2012

Untuk Didengarkan

Untuk didengarkan,
maka kita harus mengeraskan suara,
bisa juga menggebrak meja.

Anarkis tidak perlu diaksikan,
kerusuhan tidak perlu terjadi,
mogok makan dan mogok kerja tidak perlu dilakukan.
Kalau saja..

Kalau saja penguasa bisa mendengar:
Kata yang disampaikan baik-baik,
bunyi perut kelaparan,
keluhan antrian BBM,
juga helaan nafas petani.

Tapi mereka tidak bisa.
Maka dibutuhkan lah aksi massa!
Butuh anarkis!
Butuh rusuh!
Butuh mogok kerja besar-besaran!
Mogok konsumsi!

Semua itu agar bisa didengarkan oleh penguasa yang sudah buta tuli mata, hati, dan pikirannya.

Yah, kalau tetap tidak didengarkan juga.
TURUNKAN SAJA MEREKA!

Ruang Duduk,
Rumah Jogja

Resensi - Persepolis I

PERSEPOLIS I
Marjane Satrapi

Persepolis adalah buku graphic-novel tentang masa kecil penulisnya sendiri: Marjane Satrapi. Sebenarnya ada dua seri yang diterbitkan namun tidak pernah diedarkan oleh Gramedia: Persepolis I tentang masa kecil Marji, dan Persepolis II tentang kepulangannya kembali ke Persepolis. Persepolis sebelumnya pernah diterbitkan oleh Resist Book dalam Revolusi Iran. Bukunya sama, namun terjemahannya beda. Nah, karena buku yang kupunya dan yang baru kubaca adalah Persepolis I, maka dalam resensi ini aku hanya akan membahas Persepolis I terbitan Gramedia.

Masa kecil Marji sebenarnya sederhana, namun menjadi luar biasa menarik karena masa kecilnya dilalui dalam masa-masa genting dan penting sebuah bangsa besar: Iran. Yang pada saat Marji kecil di Iran, saat itu sedang terjadi Revolusi Iran pada tahun 1979.

Dengan gaya cerita dan gambar yang sama dengan Embroideries – keluguan dan kepolosan – Persepolis I menceritakan hal yang lebih serius. Ia membicarakan politik, kebebasan, paksaan dalam menjalankan agama, dan lain sebagainya.

Dalam buku ini Marji membicarakan orangtuanya yang melakukan aksi demonstrasi menurunkan tirani Shah, ibunya yang seorang aktivis kebebasan, ayahnya yang seorang fotografer demonstrasi, neneknya yang wangi melati, cita-cita Marji menjadi seorang nabi, perbedaan kelas antar manusia, hingga kebenaran yang mungkin sulit untuk diterima. Kadang pun Marji menggugat ayahnya sendiri, ‘Sebenarnya Ayah menentang atau mendukung kelas sosial?!’. Ia pun mempertanyakan perjuangan ibunya, ‘Sebenarnya Ibu mendukung kebebasan atau tidak?’, begitu gugatannya.

Membaca Persepolis adalah juga tentang Marji. Seorang anak yang dididik secara Barat oleh keluarganya yang moderat, di tengah-tengah negara dan masyarakat yang katanya fundamentalis itu. Marji sendiri membaca banyak buku di usianya yang masih muda. Ia bahkan paham Dialektika Matrealisme. Ia juga paham sejarah panjang bangsanya. Ia pun paham kelas sosial itu ada dan menjadi malu karenanya. Semua pengetahuan ini menjadikannya anak yang banyak tahu dan lugas mengungkapkan pendapatnya. Ia mampu berteriak dengan suara yang lebih keras daripada suara orang yang membentaknya. Aku menyukai karakter Marji. Meski iri padanya.

Dalam buku ini, ada banyak sekali orang dewasa yang berpengaruh besar dalam kehidupan anak-anak, terutama Marji. Tiap tokoh memberi pengaruhnya masing-masing dengan baik dan buruknya. Di antara semua tokoh dalam buku ini, aku paling suka dengan paman Marji, Anoosh namanya. Aku merasa lebih suka dan lebih mirip dengan Anoosh dibandingkan dengan karakter yang lain. Ia seorang pejuang dan baru keluar dari penjara yang telah mengurungnya selama 30 tahun. Ia menyukai anak kecil yang banyak tanya dan banyak tahu seperti Marji. Anak yang kadang tidak disukai sebagian besar orang dewasa. Orang dewasa biasanya lebih suka pada anak manis, diam, penurut, tidak banyak tanya, dan sebagainya. Aku ingin menjadi seperti Anoosh. Aku ingin membantu anak-anak paham seperti apa sebenarnya wajah dunia.

Buku Marji yang kubaca sebelumnya adalah Embroideries, isinya tentang sekelompok perempuan yang membicarakan laki-laki. Meski beberapa kali membahas politik dan nilai-nilai dalam masyarakat, cara membahasannya dilakukan dengan humor dan keluguan yang membuat tertawa saking polosnya. Tapi humor ini yang sangat sedikit terlihat dalam Persepolis I. Ada beberapa, tapi sedikit sekali. Lalu kenapa? Memangnya humor seperti apa yang kamu harapkan ketika membaca tentang peperangan yang banjir darah dan air mata?

Marji membongkar masa lalunya yang tidak begitu menyenangkan untuk mengungkapkan pada dunia bahwa Iran, bangsanya sendiri, tidak seperti tampakannya dari luar. Maka menulis dan menggambar Persepolis adalah penting bagi Marji. Kita bisa saja saling memaafkan, tapi seharusnya kita tidak pernah lupa, begitu katanya pada pengantar buku ini.

Buku ini bagus sekali. Aku kagum pada Marji kecil, dan aku penasaran untuk tahu apa yang akan dilakukannya ketika kembali ke Persepolis saat lebih dewasa dalam Persepolis II.

Ruang Duduk,
Rumah Jogja,
04 Juni 2012

Kenapa Tidak Bisa Sederhana?

Cinta bisa jadi sederhana, tapi di sisi lain ia bisa jadi sangat rumit. Ah, aku tidak tahu apa yang mau kukatakan.

Kenapa kisah cinta dalam dongeng begitu sederhana?

Bagaimana kalau Cinderella tidak jadi menikah dengan pangeran kerajaan karena ketika yang ditemuinya di pesta istana adalah raja yang sudah tua namun masih menginginkan gadis muda untuk menjadi istrinya yang kelima? Bagaimana kalau Cinderella tidak mau menikah dengan pangeran karena sudah jatuh cinta pada penjual roti di pasar yang tiap hari ditemuinya? Kenapa ceritanya bisa begitu sederha, kenapa cinta katanya bisa begitu sederhana, padahal kenyataannya bisa jadi sangat rumit?

Bagaimana kalau Putri Tidur terbangun setelah dicium oleh lelaki yang ternyata Buruk Rupa, yang berpunggung bungkuk, wajah tidak mulus, dan memiliki kekurangan fisik, apakah ia akan jatuh cinta padanya dan ingin menikah dengannya? Bagaimana kalau Pangeran tidak bisa jatuh cinta kepada Putri Tidur karena yang ditemuinya setelah berperang melawan monster dan penyihir jahat adalah Putri Tidur yang berperangai buruk? Kenapa cinta bisa begitu sederhana, dan kenapa manusia bisa membuatnya begitu rumit?

Bagaimana kalau Putri Duyung yang sudah menukar suaranya yang indah dengan sepasang kaki manusia, menemukan bahwa pria yang dicintainya adalah seorang laki-laki yang suka mempermainkan perasaan perempuan? Menyesalkah ia telah menukar suaranya yang indah? Dan bagaimana ketika lelaki itu akhirnya jatuh cinta pada Putri Duyung, lalu kemudian baru tahu kalau ternyata ia jatuh cinta pada seekor ikan? Kenapa jatuh cinta bisa menjadi begitu sederhana, padahal kenyataannya manusia yang membuatnya sangat rumit dan semrawut?

Cinta memang bisa menjadi sangat sederhana. Ia bisa hadir hanya karena senyum di pagi hari atau bahkan sapu tangan yang terjatuh. Manusia memahami itu. Manusia tahu itu.

Namun entah kenapa, untuk mendapatkan cinta dan mempertahankannya, manusia menjadi sangat ribet dan rumit. Kalau bisa, apapun dipermasalahkan dan dipikirkan sehingga kadang cinta yang begitu sederhana menjadi rumit. Perbedaan agama, status, ras, umur, dan sebagainya menjadi masalah. Pendapat orang lain, pendapat orang tua, harta yang dimilikil, pendidikan yang ditempuh, jumlah pendapatan, menjadi penting bagi manusia. Semua keduniawian itu membuat manusia lupa, bahwa cinta sejatinya adalah sesuatu yang sangat sederhana. Kenapa tidak mulai melihatnya dan memperjuangkannya dengan cara yang sederhana pula?

30 Mei 2012

Istilah Jatuh dan Patah Hati

Tulisan ini berawal dari pertanyaan-pertanyaan yang kuajukan. Aku hanya sekedar bergumam mengenai apa yang sedang kupikirkan, belakangan tentang istilah jatuh hati dan patah hati. Karena menurutku istilah itu aneh sekali.

Kenapa mulai mencintai seseorang disebut 'jatuh hati'? Baiklah, mencintai memang urusan hati dan aku paham kenapa hati ada di sana. Tapi bagian yang tidak kumengerti adalah kenapa 'jatuh'? Kenapa tidak 'terbang' yang padahal rasanya seperti sedang terbang ke langit ketujuh ketika sedang mencintai seseorang?

Kenapa pula jatuh? Padahal yang setelah jatuh pasti rasanya sakit? Apakah sakit adalah sebuah kepastian untuk kata kerja mencintai dalam jatuh hati? Apakah karena ketika jatuh, meskipun sakit, seseorang bisa tetap bangun dan bangkit lagi untuk mencoba kesekian kali untuk mencintai lagi? Bahasa Inggris untuk memutuskan mencintai seseorang juga 'falling in love', jatuh juga artinya. Ada apa ini? Apakah semua orang di dunia sepakat bahwa mencintai adalah kata kerja yang mengakibatkan kata sifat sakit karena terjatuh itu?

Kurasakan hal yang sama dari kata patah hati.

Kenapa ketika seseorang yang kita cintai tidak membalas dengan cinta yang sama pada kita, kata yang dipakai adalah 'patah hati'? Lagi-lagi kata 'hati' memang ada di sana karena ini memang menyangkut urusan hati. Namun kenapa bukan menggunakan kata 'remuk' atau 'pecah'? Padahal rasa kehancuran itu memang seperti hati pecah berkeping-keping, yang seolah tidak akan bisa dikumpulkan untuk diutuhkan kembali.

Kenapa pula patah? Apakah patah itu untuk sesuatu yang terbagi dua dan karena urusan hati ini memang menyangkut dua orang maka kata itulah yang paling cocok? Apakah karena ketika sesuatu patah menjadi dua, ia tetap dapat diperbaiki untuk disatukan, setidaknya menggunakan lem yang paling kuat? Namun tetap saja sesuatu yang patah akan menimbulkan bekas yang jelas dan tetap tidak akan kembali utuh seperti awalnya, dan apakah cinta seperti itu? Berbeda dengan 'remuk' atau 'pecah' yang tidak bisa diapa-apakan dan tinggal dibuang saja. Bahasa Inggris untuk perasaan campur aduk ketika cinta tidak terbalas adalah 'broken heart', hati yang rusak atau hancur. Tapi dalam Bahasa Inggris, benda yang 'broken' tetap dapat direparasi 'repair', yang beberapa tetap dapat bekerja sesuai kapasitasnya seolah-olah tidak pernah 'broken' sebelumnya. Dan benda 'broken' yang lain selebihnya malah tetap tidak akan bisa dipergunakan lagi meski sudah direparasi.

Apakah perbedaan ini mengungkap perbedaan cara pandang Budaya Timur dan Barat mengenai cinta? Budaya Timur, terutama di Indonesia, mampu menerima kembali cinta yang patah itu meski luka bekas patahan masih tersisa, bahkan untuk selamanya. Sedangkan Budaya Barat, entah negara mana, sebagian mampu menerima kembali cintanya yang sudah rusak dengan utuh tanpa merasa pernah rusak sebelumnya, atau malah sekalian saja dibuang cinta itu tidak pernah diingat lagi dan mulai saja cinta yang baru. Begitukah?

Pertanyaan-pertanyaanku tidak butuh dijawab. Terkadang ia bahkan sudah menjawab sendiri pertanyaannya.

Entahlah. Tapi dari pertanyaan-pertanyaanku di atas, aku belajar bahwa istilah ‘jatuh hati’ dan ‘patah hati’ tidak merujuk pada apa yang dirasakan manusia ketika mengalami itu. Ia merujuk kepada konsekuensi di masa depan ketika manusia mengalaminya. Untuk mengingatkan manusia bahwa setiap tindakan, ada konsekuensi yang harus dihadapinya di depan sana. Dan manusia sebaiknya bersiap akan apa yang akan ada di depannya.

Surat Untuk Bintang

Malam Bintang,
Salam kenal,

Aku senang ada yang mengajakku berkorespondensi melalui surat. Sayangnya Bintang, aku lebih suka dengan korespondensi tulis tangan daripada melalui email seperti ini. Terlalu cepat, terlalu instan, dan terlalu mudah. Persis seperti anak muda jaman sekarang yang dunianya seolah berputar sangat cepat. Ah anak muda. Bisa apa anak muda dengan keinstanan itu? Apa yang bisa mereka pelajari dari kehidupan kalau mereka suka hidup dengan cara yang instan seperti itu Bin?

Haha, pasti kamu heran ya, Bintang yang baik.

Memangnya siapa aku, kenapa bisa-bisanya aku berkata seperti itu tentang anak muda jaman sekarang? Apakah kamu sedang mendapatkan surat dari seorang tua? Haha, tidak Bintang. Bukan begitu.

Aku sendiri masih muda kalau ukuran muda adalah lama hidup di bumi, umurku masih 22 tahun. Umur yang seharusnya sedang sibuk dengan dunianya, dan tergila-gila pada dunia yang bisa digenggamnya dengan mudah. Bukankah begitu, Bintang yang cerah?

Dengan umurku yang 22 tahun ini, untuk sementara aku belum punya keinginan untuk hidup lebih lama dari 25 tahun. Aku sangat ingin mati Bin, sangat ingin mati muda. Keinginanku mati muda sudah kupunya sejak aku SMA kalau tidak salah ingat, sekitar tujuh tahun lalu. Hanya saja aku sendiri terlalu pengecut untuk bunuh diri. Karena aku masih meyakini, kematian hanyalah hak Tuhan. Aku manusia, tidak diperkenankan mengetahuinya. Tapi keinginan saja tidak dilarang kan Bin?

Pasti di sini kamu heran lagi, Bintang sahabat baruku.

Kenapa aku begitu ingin mati? Hmm, bagaimana menjelaskannya ya, darimana aku mulai menjelaskannya ya Bintang. Karena ada begitu banyak alasan yang dimiliki dunia ini yang membuatku sangat ingin mati muda.

Suatu ketika, ada teman yang berkata padaku, bahwa aku itu seperti pembatas buku. Anggaplah sejarah Indonesia ini ada dalam sebuah buku. Di dalam buku itu ada satu bab mengenai generasi tua, dan bab selanjutnya mengenai generasi muda jaman sekarang. Nah aku ini berada di tengah-tengahnya sebagai pembatas buku. Aku tidak termasuk generasi tua karena aku memang tidak dilahirkan di masa itu. Aku pun tidak seperti generasi muda ketika aku tidak sepaham dengan mereka, tidak berpikir dengan cara yang sama, pun tidak melakukan hal yang sama.

Manusia sepertiku entah manusia yang terlambat lahir di dunia ini, karena aku lebih memahami generasi tua daripada generasi anakmuda jaman sekarang. Atau bisa jadi aku malah manusia yang terlalu cepat hadir untuk generasi ini. Aku berpikir tentang masa yang akan datang dimana keinstanan atau kemudahan hidup yang dimiliki anak muda jaman sekarang tidak ada manfaatnya bagi pengalaman hidup mereka.

Tapi pemikir hebat seperti Soe Hok Gie atau Ahmad Wahib kan juga pada dasarnya adalah orang-orang yang terlalu cepat hadir bagi generasi mereka. Semoga saja aku begitu, seperti mereka. Aku orang yang terlalu cepat hadir di generasiku sehingga apa yang aku katakan atau aku pikirkan tidak bisa dipahami mereka.

Mungkin kamu tidak habis pikir, Bintang yang ramah. Kenapa aku bisa seperti ini. Tadinya aku pun bingung, ada apa denganku, apa yang salah dengan hidupku. Tapi belakangan mungkin aku bisa mengambil kesimpulan dari kebiasaanku.

Aku orang yang mungkin agak terlalu banyak membaca buku sejarah dan juga sastra. Buku-buku yang jarang dibaca anak muda jaman sekarang, Bintang. Dan dari buku-buku itu, aku kemudian muak ketika melihat kenyataan ternyata dunia ini tidak pernah belajar dari masa lalunya. Aku pun muak melihat kebejatan yang dilakukan manusia kepada manusia yang lain. Exploitation de l'homme par l'homme katanya, eksploitasi manusia oleh sesama manusia. Kemuakan ini membuatku lelah Bin, lelah sekali untuk hidup. Lelah sekali menjadi bagian dari umat manusia yang seperti ini.

Karena banyak membaca buku-buku seperti itu, aku menjadi orang yang sangat banyak bertanya, sangat banyak mempertanyakan, sangat banyak menggugat kenyataan. Apapun aku tanyakan, apapun aku pertanyakan, dan apapun aku gugat, Bintang sahabatku.

Mungkin kamu pikir banyak mempertanyakan adalah sebuah bentuk ketajaman pikiran, kritis katanya. Awalnya pun bagiku seperti itu. Awalnya bagi teman-temanku pun seperti itu, Bintang. Jadi pada awalnya kubiarkan saja.

Tapi ini sudah melewati batas. Pertanyaan-pertanyaanku membuatku gelisah tidak bisa tidur setiap malam. Mereka membawa serta mimpi-mimpi buruk yang membuatku ketakutan menutup mataku setiap malam. Pertanyaan-pertanyaanku membuatku gelisah tidak mampu makan. Mereka membawa serta nasib-nasib petani yang dirugikan dari makanan yang kumakan. Mereka juga membawa kelaparan dan kemiskinan yang diderita lebih dari separuh manusia di bumi, Bintang.

Pada akhirnya pertanyaan-pertanyaanku itu semakin lama membuatku ingin mati. Pertanyaan-pertanyaanku kini membunuhku! Bukan kritis namanya kalau begini, aku kini sekarat!

Maka aku menulis surat ini kepadamu, Bintang, cahaya yang berpendar lemah dari bumi. Setidaknya kamu menawarkan harapan di kegelapan malam. Bukankah semakin gelap malam, maka semakin bersinar dirimu, Bintang Sahabatku?

Aku menulis karena dengan menulis aku mampu menunda bunuh diri. Aku menulis surat ini karena aku menunda mati. Setidaknya untuk malam ini.

Selamat malam Bintang,
Hiduplah selama-lamanya.

Ruang Duduk Rumah Jogja,
30 Mei 2012
19:16

Nadia Aghnia Fadhillah
@nadanakaneh

---

Di perjalanan menuju warnet barusan aku hampir ketabrak, dan kalau surat ini tidak jadi aku publikasikan, bagaimana kelanjutannya? Seru yah? Hahaha.

25 Mei 2012

A Letter to A New Penpal

Hi! my name is Grace, I'm 26 years old and I'm from the San Francisco Area, in California, USA. I am a double degree major and currently studying Civil Engineering. I want to provide clean water for people in third world countries after graduation.

I love traveling to new places and learning languages. I enjoy reading books. :) I hope that someday I could visit Italy. I like writing letters, watching movies, reading and hanging out with friends. I like to write and also in my free time I write books and have published four books.

Please write something about you, your life, your job, your dreams and what makes you happy.


Hi Grace, how do you do?
My name is Nadia. I'm 22 years old. I'm an architecture student. I live in Yogyakarta, Indonesia. And I am Indonesian. As you know, Indonesia is one of the third world countries that you mentioned in your profile.

As an architecture student and a member of the third world, I do understand what you said earlier about water crisis. Let me tell you about Indonesia, my own nation, Grace.

Indonesia actually has a lot of nature resources. Just name it; gas oil, forests, woods, birds, beaches, mountains, gold minings, everything. We are rich of nature. We can call it: just like a piece of heaven falling to the earth.

But what happen now, Grace? Everytime you watch Indonesian news on television, they are bad news. There is no future of Indonesia. Everytime you go out to the streets, junctions, corners, underbridges, and riverbeds, you can find a lot of hunger people right there. The goverment do nothing. Yeah maybe just a little and the rest of them, they do corrupt.

I do really love Indonesia, Grace. I'm a native and the most fluent language for me is Bahasa Indonesia. I can't thinking about living in other place but Indonesia.

But this country makes me sick. This country makes me believe that there is no justice exist in this world. What a cruel fact that I and the young Indonesians had to face in front of us.

We are, Indonesian youngsters do not have hope for the better future of Indonesia if we do nothing. We can't depend on the goverment nor the president. So we do what we can do.

So there are many youth movements in Indonesia nowadays. Some young Indonesians do demonstrations in front of parliament buildings. They fight for justice, humanity, human rights, and for a better place to living in. The other young people do research in their own educations. The other try the best for their works. Another young Indonesians do community services, examples: giving free education for poor children, giving healthcare for poor people, and making improvement based on local community.

The picture in my first postcard shows a beatiful beach in Belitong Island. What do you think about that beach, Grace? Beatiful, isn't it? But you know, that beautiful island has many complicated problems. Especially water problem. I did two months last year doing community services to try solving the problem. My second postcard shows you a publication of Yogyakarta-Netpac Asian Film Festival 2011. I joined watching the festival. This is one of youth movements we do to make a better future of Indonesia.

This is my first letter. If you want to ask something, questions about Indonesia, I will try my best to answering your questions,

I sent you a map of Yogyakarta City and the entire Yogyakarta Hadiningrat Royal Family names written in the back side.

Hope you will be happy received my post cards. I'm sorry if you don't have any idea what i am talking about. I'm not really good in English. But I love watching The Mentalist Series, they are from California, your city, aren't they? Hehe.

See you someday, Grace!
Cheers!

24 Mei 2012

Penembak Misterius: Sebuah Resensi

Aku sebenarnya jarang menikmati cerpen. Suka membuatnya namun tidak terlalu suka membaca cerpen orang lain. Karena berbagai rekomendasi tentang kehebatan Seno Gumira Ajidarma dari teman-teman; Mas Panda dan Mas Pra, maka aku membeli dan membaca kumpulan cerpen ini.

Karena aku jarang membaca kumcer lain, aku tidak punya kemampuan membandingkan buku ini dengan buku lain yang sejenis. Dan juga karena ini buku SGA yang pertama aku baca, aku pun tidak bisa membandingkannya dengan buku-buku SGA lainnya. Jadi aku membuat review ini, murni dari yang kurasakan saat membacanya. *sok polos*

Ada 12 cerpen dalam buku ini yang dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama merupakan trilogi cerpen: Penembak Misterius, berisi tiga cerpen yang bertema sama, tentang Penembak Misterius atau Petrus selama tahun '80an. Dua bagian lainnya adalah Cerita Untuk Alina dan Bayi Siapa yang Menangis di Semak-Semak. Yang alasan kenapa cerpen-cerpen di dalamnya dimasukkan ke bagian itu tidak terlalu jelas.

Aku biasa memegang pensil saat membaca buku untuk menggarisi kalimat yang kuanggap menarik atau memberi komentar di margin buku. Namun ketika aku membaca cerpen pertama; Penembak Misterius, aku merasa ada yang aneh. Karena cerpen ini indah, tapi aku tidak menemukan bagian mana yang harus aku garis. Kata-katanya sederhana, tidak rumit, biasa saja. Tapi keseluruhan cerpennya luar biasa. Kalau aku bersikukuh menggarisinya, maka aku menggarisi keseluruhan cerpennya. Nahloh.

Cerpen kedua; Bunyi Hujan di Atas Genting, yang menarik perhatianku adalah ternyata si Sawitri, tokoh utamanya, sangat lugu. Cerpen ini menurutku sederhana, biasa, dan malah membuatku takut kalau aku membuka jendela, melihat ke kanan bawah, lalu menemukan mayat setiap pagi sehabis hujan. Cerpen ini pernah dialih-bahasakan ke bahasa asing. Memang mudah mencari padanan kata dalam bahasa asingnya, karena kata-kata yang digunakan sederhana. Namun sulit menjelaskan bahwa judul cerpen ini adalah sebuah lagu rakyat. Pasti banyak footnote.

(bersambung)