28 April 2013

Aku

Aku lahir beberapa hari setelah Nelson Mandela dibebaskan. Setelah dipenjara selama duapuluh tahun lamanya. Karena ia memperjuangkan kesetaraan hak asasi manusia. Pembebasan Nelson Mandela menandakan bahwa perlawanan bisa dilanjutkan, bahwa apartheid mungkin dihapuskan. Aku lahir ketika Afrika Selatan diliputi harapan berbuncah-buncah. Harapan akan masa depan yang lebih baik bagi kulit hitam. Harapan akan masa depan yang terbuka lebar.

Aku lahir ketika Eropa sedang mengalami eforia pasca runtuhnya Tembok Berlin. Tembok yang membagi Jerman menjadi dua: German Barat dan German Timur. Tembok yang membagi Eropa menjadi dua: sosialis dan kapitalis. Tembok yang memenjarakan masa lalu dalam perang saudara tanpa akhir atas masa depan yang lebih baik. Runtuhnya Tembok Berlin merupakan simbol runtuhnya sebuah penjara besar bagi rakyat Eropa. Eropa bersatu. Menyatukan masa depan mereka. Aku lahir ketika eforia akan harapan membanjiri Eropa. Harapan akan kemajuan Eropa di masa datang. Harapan akan sosialisme dan komunisme bersisian. Harapan akan kedamaian tanpa perang.

Tepat pada saat itulah aku lahir. Ketika harapan-harapan menjadi pandemi global. Ayah Ibuku memberiku nama Nadia tanpa alasan. Keduanya tak paham isu global. Tapi sesungguhnya Tuhanlah yang menuliskan nama dan takdir bagiku.

Nadia dalam Bahasa Rusia berarti Harapan. Harapan akan dunia yang lebih baik. Harapan akan dunia yang lebih setara. Harapan akan dunia yang lebih memanusiakan manusia. Harapan akan masa depan impian. Barangkali ini yang dinamakan takdir.

26 April 2013

Tato Titik Biru di Siku Kanan Ibuku

Mamaku punya sebuah tanda biru di siku kanannya. Bentuknya bulat diameter satu sentimeter. Berwarna biru. Selama ini aku mengira itu tanda lahir. Mungkin mama juga mengira begitu.

Tapi baru kemarin aku tahu persis, tanda apa itu.

Mamaku lahir di Pulau Biak, Kabupaten Biak Numfor, tahun 1965 ketika Papua masih bernama Irian Barat dan belum tergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sekitar tahun 1950-1960an, Irian Barat mengalami endemi frambusia, sebuah wabah penyakit kulit hebat akibat cacing dan membunuh sekitar 40% penduduk Irian Barat. Untuk mencegah penyebaran penyakit frambusia, semua bayi yang lahir di Papua antara tahun 40an akhir hingga 60an akhir, diberi vaksin frambusia. Untuk menandai bayi mana yang belum disuntik dan yang sudah caranya dengan mentato mereka.

Menandai dengan tato di Papua adalah hal yang lumrah. Budaya tato dengan motif geometris seperti garis dan titik merupakan penanda suku, motif yang berbeda menunjukkan suku yang berbeda. Meski sekarang anak muda Papua sudah jarang menato tubuhnya. Saat itu tanda dengan tato adalah cara yang paling logis. Tidak mungkin menandai dengan dokumen, atau kertas, atau kartu sehat, karena sebagian besar masyarakat Papua belum bisa membaca aksara.


Namun belakangan ini tato biru frambusia menjadi wacana sosial dan politik di Papua. Pasalnya krisis kesejahteraan di Papua seringkali dikaitkan dengan kedatangan pendatang dari luar yang menguasai segala sektor kehidupan, sehingga masyarakat asli Papua menjadi tergantung dan terpinggirkan. Maka sentimen terhadap orang luar merebak.

Semua orang dibagi dua: pendatang dan asli Papua. Pendatang dengan kulit putih, rambut lurus, dipanggil ‘amber’ dalam Bahasa Biak, dan tanpa tato. Sedangkan masyarakat asli Papua dengan kulit hitam, rambut keriting, dipanggi ‘Komin’ pun dari Bahasa Biak, dan dengan tato. Perbedaan fisik ini yang sering diwacanakan ketika sentimen antar ras menajam.


Padahal mamaku adalah seorang bukan asli Papua, namun juga memiliki tato titik biru di sikunya. Barangkali kalau mama kembali lagi ke Papua dan mendamaikan kedua belah pihak, ‘perdamaian’ akan tercipta. Ya tapi itu pun kalau mama tahu dan mau.

25 April 2013

Hati Hati Imajinasi

Mendengar kata ‘Bon Voyage' rasanya seperti mendengar kepakan layar kapal yang baru kubentang, seperti mendengar koakan burung camar di kejauhan, seperti mendengar deburan ombak yang menampar dermaga, merasakan angin yang membelai telinga.

Dipanggil dengan kata ‘Mademoiselle' rasanya seperti aku mendadak ganti kostum. Memakai gaun Abad Pertengahan Eropa, dengan rok menggembung lebar, kaos tangan sampai siku, topi lebar dengan pita, dan payung berenda.

Diberi ucapan ‘Bon Lecture' kedengarannya seperti aku mendadak pindah lokasi. Aku berada di tengah tumpukan serakan kitab tua yang lebih tua dari ayahku. Tidak, aku tidak sendiri. Aku ditemani seorang profesor galak yang menyebalkan.

Baca ‘Bon Visit' jadi inget pernah berkali-kali baca Visit Indonesia yang tak kunjung usai sejak 2009, 2010, 2011, 2012. Entah sampai kapan lagi.

Ketika aku pergi dan dilepas dengan ‘Bon Route’, itu seolah-olah aku Amelia Earhart, pilot perempuan pertama di dunia. Menenteng helm pilot dengan kaca mata besar sambil melambaikan tangan akan pergi mengelilingi dunia dengan pesawat baling-baling.