10 Juli 2012

Kecenderungan Bunuh Diri

Ada seorang sahabat. Ia seorang gadis yang memiliki kecenderungan bunuh diri. Dan ia bangga karenanya. Dia mengatakan kecenderungannya itu pada semua orang. Kecuali pada orang tuanya. Karena sebenarnya sahabatku ini tidak tega orangtuanya sedih kalau tahu ia ingin bunuh diri.

Aku tidak paham dengan alasannya ingin bunuh diri. Entah aku benar tidak paham. Entah aku tidak ingin paham. Dia pun menjelaskan dengan sekenanya. Entah tidak ingin aku paham alasan sesungguhnya. Entah pula ia sendiri pun tidak paham dengan alasannya. Ia menjelaskan alasannya dengan berputar-putar, kadang juga sepenggal-penggal.

Sahabatku ini selalu berpikir untuk bunuh diri. Meskipun sampai saat ini ia tidak pernah melakukan percobaan bunuh diri yang sebenarnya. Ia tidak pernah memulai. Atau mengambil ancang-ancang. Setidaknya sampai sekarang. Setelah bertahun-tahun keinginan bunuh diri itu dimilikinya.

Menurutku ia agak pengecut. Membual pada semua orang bahwa ia ingin bunuh diri, tapi tidak pernah dilakukannya. Ia juga agak munafik. Memaki dunia bertubi-tubi tanpa henti, tapi yang dilakukannya adalah berbagi tiap hari. Dunia memang pantas dimaki, tapi kehadirannya di dunia justru yang membuat dunia tidak mutlak buruk telak. Sayangnya ia tidak sadar itu.

Malam tidak bisa dihabiskannya sendiri. Kadang dibaginya malam dengan mimpi-mimpi buruk. Kadang dibaginya dengan desir angin malam. Selebihnya ia menenggelamkan diri pada buku-buku. Sampai malam habis dengan sendirinya. Ia tidak takut kelamnya malam. Namun entah kenapa jauh lebih takut pada biru segarnya pagi.

Ia sering sekali tergoda pada kecenderungannya bunuh diri. Selalu membayangkan menikam jantungnya dengan gunting ketika sedang menggunakan gunting untuk membagi kertas. Itulah kenapa gunting-gunting selalu disembunyikan ketika tidak digunakan. Selalu membayangkan menggores lehernya ketika menggunakan pisau dapur. Itulah kenapa pisau-pisau dapurnya tidak pernah cukup tajam. Selalu membayangkan meminum obat tidur lima kali dosis seharusnya ketika menenggak vitamin hariannya. Itulah kenapa obat-obat selalu dibawa sesuai dosisnya. Selalu membayangkan untuk mengiris pergelangan tangan sendiri tiap melihatnya. Itulah kenapa ia menyamarkan pergelangan tangannya dengan gelang-gelang bertumpuk.

Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi temanku ini. Aku sudah hilang kesabaran mempertanyakan alasannya memiliki kecenderungan bunuh diri. Haruskah kutinggalkan saja? Atau terus kudesak dengan paksaan-paksaan menikmati hidup? Tapi kalau kudesak, giginya merapat dan rahangnya mengaku. Kadang juga matanya berkaca-kaca.

Kemudian aku ditinggal sendirian dalam kubangan rasa bersalah. Entahlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tulis saja apa yang kau pikirkan