26 Januari 2012

aku ketika sekolah menengah

aku sedang mencari buku-buku yang ku punya ketika masih sekolah menengah dan menemukan beberapa kenyataan yang harus aku terima tentang diriku.

aku baca buku dan mengumpulkan buku lebih banyak ketika aku masih sekolah menengah, dibandingkan dengan saat aku kuliah seperti sekarang. padahal aksesku pada buku jauh lebih banyak saat ini dibandingkan saat masih sekolah. apa yang terjadi?

kenyataan kedua tentang aku saat masih sekolah menengah adalah aku jauh lebih sering menulis dibandingkan sekarang. aku menulis apapun saat itu. sangat beragam hal yang aku tulis, keragaman itu hampir menyamai tulisan Raffles di bukunya History of Java. sebagian besar tulisanku saat itu tidak begitu penting, namun beberapa tulisan  menunjukkan aku yang dulu telah berpikir sangat jauh kedepan. pikiran-pikiranku dulu melampaui pikiran-pikiranku sekarang terhadap masa depan.

jadi, apa yang harus aku lakukan, diriku yang sekarang, agar tidak kalah pada diriku sendiri?

25 Januari 2012

Surabaya-Madura part1

Perjalanan ini bermula dari siang sekitar jam 10 di saat aku merasa bosan dengan buku yang aku baca namun tetap bertahan membacanya. Saat itu datanglah sms dari ifdal, teman yang baru kujumpai satu kali, berupa ajakan mengelilingi Jogja dengan Trans-Jogja. 

Meskipun aku sudah pernah naik Trans-Jogja, kenapa harus menolak ajakannya? Lagipula aku bisa membeli kartu langganan Trans-Jogja yang belum pernah aku punya. 

Ifdal mengajak Bang Ilul, temannya yang juga baru sekali kutemui. Mereka berdua selama ini mengelilingi Jogja dengan menggunakan motor, vespa, atau mobil. Ini kali pertamanya mereka menggunakan kendaraan umum. Seru sekali melihat mereka excited. 

Aku berangkat dari rumah dengan berjalan kaki ke jalan besar, berencana menggunakan bis kota ke terminal, dan dari terminal naik Trans-Jogja ke Kopma UGM, tempat janjian. Sebenarnya jauh lebih mudah dan cepat bila aku minta tolong Mba Ndari untuk mengantar ke Kopma. Tapi ini perjalanan, mencoba jalan lain yang tidak sering dilalui. 

Aku berjalan kaki, dan ada seorang ibu yang tidak aku kenal menawarkan tumpangan ke depan. Setelah tahu aku akan ke terminal, aku diantarkan pula ke terminal. Terlebih lagi, ibu itu juga tidak kenal aku. Luar biasa ya orang-orang baik ini. 

Trans-Jogja yang kutumpangi datang terlalu lama, sehingga Ifdal dan Bang Ilul harus menungguku sambil makan siang di Foodcourt Kopma. Di sana lah tercetus untuk memperjauh tujuan jalan, yang pertama Prambanan, kemudian Kota Solo dengan naik kereta Prameks dari Stasiun. 

Namun lagi-lagi Trans-Jogja terlambat. Sebenarnya aku tidak masalah menggunakan kendaraan umum, aku toh bisa mengumpulkan tiket sebanyak-banyaknya. Tapi masyarakat akan memilih mengandalkan dirinya sendiri dalam berkendara daripada kendaraan umum yang tidak jelas jadwalnya dan tepat tidaknya. Tidak terintegrasinya kendaraan Trans-Jogja dengan Kereta Prameks memberikan pelajaran tambahan pada kami. Kereta Prambanan Ekspres yang menjadi kendaraan favoritku itu melaju di depanku dan setelah seratusan meter aku kejar tetap tidak terkejar pada akhirnya. 

Kejar-kejaran dengan kereta itu, meskipun sudah kuduga apa yang akan terjadi pada akhirnya, tetap membuatku sangat senang. Aku sudah lupa kapan terakhir kali aku mengejar kereta. Akibatnya aku tersengal-sengal. Bang Ilul perutnya sakit akibat berlari. Dan juga Idal yang bukannya kecapekan malah memiliki ide gila dengan naik kereta yang jadwalnya paling dekat dengan saat itu dengan tujuan kemana saja. 

Itu ide gila sekali. Aku dan Bang Ilul merasa ada yang tidak beres dengan pikiran Idal. Tapi kami berdua tidak punya alasan untuk menghalangi Idal dengan pikiran gilanya itu. Hujan deras memblokade jalan dan niat pulang. Tapi tidak mungkin pulang dengan kehujanan tanpa membawa apa-apa. Akhirnya aku ikut. 


Dan tujuan kami adalah: SOE-RA-BAIA. Benar Surabaya yang itu! Berapa kilometer dari Jogja? Kami ke Surabaya dari Jogja dengan kereta ekonomi, dengan waktu tempuh selama 9 jam perjalanan. 

Dari rencana awal keliling Jogja, Prambanan, Solo, namun yang terjadi adalah ke Surabaya. Perjalanan memang tidak terduga. Begitu juga hidup. Aku sangat suka perjalanan, karena begitulah hidup. 

Dalam bayanganku, itu akan jadi perjalanan yang keras. Aku sudah pernah naik kereta ekonomi sebelumnya, dan aku tahu apa rasanya. Ternyata itu pertama kalinya Idal naik kereta, dan kondisi kereta ekonomi jelas akan memperburuk citra kereta di matanya. Bang Ilul juga baru pertama kali naik kereta ekonomi. Dan diantara kami, tidak ada satupun yang pernah ke Surabaya! This dream will be a hard one. 

Tapi ternyata jalan sangat mempermudah kami, PT KA sekarang hanya menjual tiket duduk, saat itu hari Rabu bukan libur nasional, hujan gerimis membuat udara nyaman, dan pedagang asongan tidak sebanyak yang dulu pernah kutemui. Perjalanan tidak berat sama sekali. 




Di dalam kereta, duduk beberapa orang di sekitar kami. Seorang lelaki seumuran ayahku. Tiga orang anak muda yang akan pulang ke Surabaya setelah menonton bola di Jogja, dengan salah satunya seorang bonek. Juga seorang anak laki-laki tengil bernama Mamat. Tadinya, kami bertiga sama sekali ndak ngajak mereka ngobrol. 

Tapi bukan backpack (ups, kami memang tidak bawa backpack, bahkan packing pun tidak), tapi bukan perjalanan namanya kalau tidak berinteraksi dengan orang lain, menambah teman baru, dan menambah ilmu baru. Kalau tidak melakukan itu, sama saja dengan jalan-jalan biasa menghamburkan uang. 

Akhirnya aku melawan kemalasanku dan kecuekanku itu, aku berkenalan dengan orang-orang baru dan sok kenal pula. Menjadi orang yang tidak tahu apa-apa dan jujur dengan keadaan tidak tahu itu, adalah salah satu cara mendapatkan banyak ilmu dari orang-orang baru yang kita kenal. Dari objek nongkrong, makanan khas Surabaya, hingga ilmu tentang cinta pun kami dapatkan dari teman-teman yang kami temui sepanjang perjalanan. Terima kasih banyak. 

Teman-teman dan kekasih yang kukabari pun kaget dan menganggapku gila dengan kelakuanku. Mau bagaimana lagi, aku memang orangnya seperti ini. Kalau tidak suka, ya marahlah, kecewalah, tapi aku memang seperti ini, dan aku tidak bohong pada siapa-siapa. Hanya saja tidak menceritakannya pada orangtuaku. Bohongkah ini? Hanya Tuhan yang tahu kedalaman hatiku. 

Aku menghubungi Pakdhe, seseorang yang aku kenal lewat game online memberi tahu aku sedang gila dan akan ke Surabaya dalam hitungan jam. (ngeri pas inget banyak berita banyak anak gadis menghilang karena kenal teman dari internet). Tapi aku sungguh memang kenal banyak sekali sahabat dari internet yang kini menjadi sahabat sungguhan di dunia nyata. 

Juga dua orang teman jalanku ini. Ifdal maupun Bang Ilul adalah teman baruku. Teman yang baru aku temui sekali. Sebelumnya melalui twitter. Ifdal sempat bertanya apakah aku tidak takut mereka culik? Entahlah. Aku tidak cukup cantik untuk dijual. Lagipula aku percaya saja dengan orang lain. Aku bodoh? Bisa jadi.

---

Surabaya-Madura part2

---

Tapi aku sungguh bersyukur mengenal dan melakukan perjalanan dengan mereka berdua. Perjalanan kemarin sangat menyenangkan. 

Bayangkan saja bagaimana kami memutuskan akan turun di stasiun yang mana di Surabaya tengah malam seperti itu. Ada tiga stasiun di Kota Surabaya, yaitu Stasiun Wonokromo, Stasiun Gubeng, dan Stasiun Semut. Berbagai alternatif sudah dibicarakan, dari menurunkan kami masing-masing di tiap stasiun, hingga turun di Stasiun Semut dan langsung meneruskan perjalanan ke Madura karena katanya dari sana bisa langsung mengakses bis ke Madura. 

Kami menentukan tujuan lagi. Madura kah tujuan kami sebenarnya? 


Namun mempertimbangkan masukan dari Pakdhe, akhirnya kami turun di Stasiun Gubeng. Dan di sanalah kami tengah malam itu. Keluar mencari toilet umum karena toilet stasiun sudah ditutup. Keluar tanpa tau kemana yang penting menemukan makanan. Kami melewati jembatan berbahaya bagi kedua lelaki teman seperjalananku, alias mereka bisa jadi korban teman-teman transeksual, sedangkan aku aman-aman saja. Kami melewati Museum Kapal Selam yang benar-benar berupa kapal selam. Kami pun melewati hostel yang sangat ingin kusinggahi kalau aku mengunjungi Surabaya lagi. Kami juga melewati jejeran toko-toko bunga di sepanjang jalan. Dan ada angkringan. 


Surabaya itu kota penuh kuliner. Sayangnya aku tidak terlalu suka dengan kuliner. Juga tidak terlalu tidak suka. Biasa saja. Rawon Surabaya sudah pernah aku coba namun tanpa jeruk nipis. Kali ini dengan jeruk nipis. Tapi aku makan saja. Aku sudah pernah mencoba masakan yang tidak enak dan tetap aku makan karena itu masakanku dan tanggung jawabku untuk menelannya. 

Namun ternyata Idal dan Bang Ilul tidak setangguh itu. Aku senyam senyum saja ketika tahu beberapa kali mereka tidak menghabiskan makanan karena tidak suka. 

Disana aku bertemu dengan Pakdhe Ary untuk pertama kalinya. Dia lebih ceria, lebih heboh, dan lebih bersahabat dari yang kuduga. Menawari kami tempat beristirahat dan lain-lain. Sungguh bantuan yang kami syukuri keesokan harinya. 

Kami diantar ke warnet yang buka 24jam karena kami memutuskan untuk tiduran di warnet saja disambi googling tentang Surabaya (ingat kan kalau kami berangkat ke Surabaya tanpa persiapan?) juga paling tidak, update status twitter. 

Tapi di warnet aku tidak bisa tidur. Aku tidak ingin tidur dan kemudian terbangun berada di kamarku di Jogja. Aku tidak ingin mimpi ke Surabaya ini berakhir. Aku gombal? Mungkin, tapi memang pada dasarnya aku tidak mudah tidur. 

Jam 3 pagi kami meninggalkan warnet dan menyetop taksi ke arah pintu tol Suramadu. Sayangnya saat itu sudah terlalu siang untuk menyetop bis dan terlalu malam untuk meminta bantuan pada satpam. Akhirnya kami terbengkalai di depan pintu tol tanpa tahu bagaimana caranya melewati jembatan Suramadu untuk sampai di Madura. 

Tapi bukan kami kalau kesialan tidak dimanfaatkan untuk bersenang-senang. Akhirnya kami main-main di jalanan lenggang, mengambil gambar Jembatan Suramadu saat malam hari, dan bereksperimen dengan berbagai pose di depan kamera (Idal dan Bang Ilul saja maksudku). 








Nasib kami ternyata juga dikasihani Bapak Sekuriti Gerbang Tol Suramadu yang dengan berbaik hati mencarikan tumpangan bagi kami melewati Jembatan Suramadu. Tumpangan itu berupa truk pengangkut besi bekal rangka beton. Ini pertama kalinya aku menumpang truk dan duduk di depan. Sebelumnya di bak truk atau eskavator. Yang terakhir membuatku trauma karena terjatuh dan karena kendaraan besar biasanya tidak diciptakan untuk manusia kecil sepertiku. Tapi untungnya, tidak ada insiden kali ini. 



Jam 6 pagi sampailah kami di Madura. Beginilah Madura ternyata. Orang-orang yang berbeda, bahasa yang berbeda, dan cara hidup yang berbeda. Hanya beberapa jam aku di Madura dan aku tahu masih sangat banyak dari Madura yang belum aku kenal. Dan bagiku, tidak ada cinta pada pandangan pertama. 

Mimpi apa aku kemarin hingga sekarang sudah berada di Madura, begitu pertanyaanku dengan Bang Ilul, yang dia juga mempertanyakan hal yang sama. Hingga saat itu pun aku masih merasa ini mimpi. Saat itu aku berada dalam sebuah mobil milik seorang bapak separuh baya, kuduga seorang PNS dari warna bajunya, yang menawarkan antaran menuju Kemal, Pelabuhan di Madura yang menghubungkan pulau itu dengan Pulau Jawa. 


Kami pulang lagi menuju Tanjung Perak pukul 8 pagi dengan menggunakan kapal. Pulang dan pergi dengan cara yang berbeda membuat kami mengalami banyak pengalaman tak terlupakan. Di Madura kami menghabiskan 1jam perjalanan dalam mobil si bapak dan 1jam mencari makan. Lagi-lagi kulihat makanan Idal dan Bang Ilul tidak dihabiskan. Kapal dari Kemal menuju Tanjung Perak terjadwal dan selama laut tidak bergejolak, jadwal keberangkatan kapal tepat waktu. 


Di Tanjung Perak, kami ke kota dengan Bis Damri, yang tadinya kukira rutenya Tanjung Perak-Terminal Joyoboyo, bermula dari Tanjung Perak dan berakhir di Terminal Joyoboyo. Entah namanya mengambil dari Raja Jayabaya yang memerintah Kerajaan Kediri, atau dari Jayabaya yang meramalkan masa depan Jawa itu, aku tidak tahu. Kalau bis Damri berakhir di Terminal Joyoboyo, aku tidak perlu khawatir, bis akan berhenti terakhir di terminal terakhir, jadi aku tidak perlu takut kebablasan. Karena itu aku untuk pertama kalinya, sempat tertidur di bis. 

Dugaanku salah. Bis Damri hanya lewat di Stasiun Joyoboyo, dan untungnya kondektur bis meneriakkan tempat itu. Kami dengan terburu-buru turun. Padahal aku sempat melihat Bang Ilul baru saja hampir tertidur. Kasihan sekali. 

Terminal Joyoboyo dekat dengan Kebun Binatang Surabaya yang terkenal sangat luas dan terutama Patung Sura dan Baya yang saling menyerang yang menjadi lambang Kota Surabaya. Jadi Ifdal dan Bang Ilul menyempatkan diri mengambil gambar dan aku membeli tiket masuk kebun binatang yang tidak pernah aku pakai. Karena setelah sesi pemotretan itu kami berjalan-jalan lagi tanpa mau kemana dan mau apa. 



Dengan tampang sudah mirip preman – dua lelaki itu dan aku juga kata mereka, akhirnya kami memutuskan akan menerima tawaran Pakdhe untuk beristirahat di rumahnya sementara, setidaknya untuk mandi dan tidur sebentar. Dan dari Terminal Joyoboyo ke rumah Pakdhe kami harus naik bemo. Masalahnya, setahuku bemo itu beroda tiga, hampir mirip bajaj namun berbeda bagian belakangnya. Tapi sumpah, di Surabaya aku belum pernah melihat seekor bemo pun! Ternyata, bemo itu hanya sebutan untuk angkot di Surabaya. Di dalam angkot, Ifdal membuka obrolan dengan mba-mba (korban barunya) tentang letak Pasar Pucang dimana kami harus turun.

---

Surabaya-Madura part3

---

Akhirnya kami sampai di rumah Pakdhe dengan kondisi mengenaskan. Rumah kosong itu kami pakai tidur-tiduran dan mandi. Sayangnya hanya Bang Ilul dan aku yang ingat mandi. Ifdal lupa hingga ia terbangun. Mereka berdua sudah tertidur di kasur, hanya aku yang belum. Aku lelah sama seperti mereka berdua. Tapi bukannya aku sudah bilang aku tidak mudah tertidur? Akhirnya aku menemukan sofa dan tertidur. 

Lagi-lagi tidur yang lebih kuanggap sial kenapa aku bisa ketiduran, karena Pakdhe si pemilik rumah sudah pulang dan memanggil-manggilku dari luar. Aku baru terbangun setelah beberapa menit berlalu. Pakdhe masuk, dan ia memaksaku untuk tidur lagi karena aku berantakan, juga meminum obat pilek karena aku pilek kecapekan. Hanya beberapa jam aku tidur. Dibangunkan dengan sms dan telepon. Bangun-bangun dan menangis dalam diam, sudah cukup aku tidur, tidak perlu tidur lagi, dalam hati. Bagaimana nanti respon mereka semua kalau melihat aku menangis? Bingung bagaimana harus bersikap kan? 

Saat itu hujan deras di luar. Waktu juga sudah pukul setengah 3 sore, sedangkan rencana awal jam 1 kami keluar, mencari tiket kereta jam 3 sore. Waktu tidak cukup kalau keluar sekarang. Hujan pula. Mereka berdua juga masih tidur, kalau dibangunkan tergesa-gesa bakal sangat tidak menyenangkan. Jadi kubiarkan saja. 

Kami bertiga berangkat dengan izin Tuhan, dan kami pulang pun sesuai dengan rencana-Nya. 

Aku keluar menuju teras, memandang hujan. Bagiku, puncak kepercayaanku pada keberadaan Tuhan terjadi ketika aku melakukan perjalanan kemanapun. Dalam perjalanan ke tempat yang tidak aku ketahui, aku tidak tahu apa-apa, aku tidak mengenal siapa-siapa, tidak bisa mengandalkan siapa-siapa. Kecuali Tuhanku. Dengan kepercayaan itu, bagiku keberadaan Tuhan itu positif. Ia ada. Dan bisa diandalkan. 

Kami pamit dari rumah Pakdhe Ary sekitar jam 4 sore menunggu hujan mereda dan menuju Terminal Bungurasih. Di dalam angkot, Bang Ilul tidak lelah mengerjaiku selama hampir 30 menit dengan kebohongan-kebohongannya. Bang Ilul dan Idal tidak habis pikir denganku yang hampir tidak terlihat sedang tidur. Padahal aku tidur, tapi tidak sebanyak Idal, ataupun semalas Bang Ilul untuk bangun meskipun sudah tidak tidur. Mereka berdua juga mengerjaiku ketika menganggap aku orang yang sangat baik sehingga seharusnya sudah tidak ada tahun 2012, jaman sekarang. 

Tapi bagiku mereka belum tahu siapa aku yang sebenarnya saja. Bisa jadi aku berpura-pura baik atau berpura-pura lugu, begitu kataku pada mereka. Pertanyaanku itu justru semakin mengaburkan, aku benar-benar baik ataukah hanya berpura-pura. Aku pun tidak tahu. 


Kami sampai di Teminal Bungurasih pukul 6, masih terlalu siang untuk pulang ke Jogja. Jam 6 berangkat, sampai Jogja akan tengah malam dan semakin sulit mencari kendaraan pulang. Jadi kami makan dulu, nasi goreng kaki lima di pinggir jalan. Itu pertama kalinya aku melihat mereka berdua menghabiskan makanan di Surabaya. Aku juga habis dengan porsi yang sama besarnya, namun waktu tempuhnya dua kali dari mereka. 

Kami masih bercerita tidak habis-habisnya, mentertawakan teman-teman, mentertawakan hidup, dan mentertawakan diri sendiri. Terlalu lama hingga sudah mendapat tatapan bahwa kami sudah terlalu lama ada di sana dari pemilik kaki lima. Dan masuk ke dalam terminal. 

Ternyata, Terminal Bungurasih tampak moderen di dalam sana, seperti airport saja. Padahal jalan masuk ke dalam terminal gelap gulita. Don’t judge the terminal from it’s entrance. Jangan pernah mengira sesuatu atau seseorang itu buruk kalau kita belum memahaminya. 

Selagi menunggu niat untuk pulang, Bang Ilul membeli buku TTS. Dan inilah kelanjutannya. Bang Ilul seperti tersihir ketika dihadapannya ada buku TTS. Ia sibuk menanyakan pertanyaan TTS pada Idal dan aku, kadang-kadang alias jarang ia langsung menulis jawabannya kalau tahu, dan melupakan batang-batang rokok. 


Idal dan Bang Ilul memang tidak bisa lepas dari rokok. Terus saja menyulut dan menghisap seperti bernafas. Aku sama sekali tidak masalah mereka berdua merokok. Karena merokok adalah keputusan pribadi. Namun paru-paruku sepertinya tidak dapat lebih lama lagi menjadi penghirup pasif, malam itu aku mulai batuk-batuk. 

Aku pun tahu sebenarnya rokok tidak baik untuk paru-paru mereka berdua, makanya yang bisa kulakukan hanyalah membelikan Bang Ilul buku TTS yang lebih tebal agar dia bisa melupakan rokok sebentar saja. 

Akhirnya kami memutuskan untuk pulang, dan naik bis Sumber Kencana yang terkenal itu. Perasaanku dari awal tidak enak. Tapi entah kenapa satu jam pertama aku ketiduran. 

Tahu kan kalau aku ketiduran, pasti aku sial. Karena aku tidak waspada dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan benar saja. Seluruh penumpang bis Sumber Kencana diturunkan dari bis dan dioper ke bis yang lain di Terminal Mojokerto. Dimana itu Mojokerto? Di sebelah mana Mojokerto di peta dunia? 

Alasan penurunan kami pun karena mbahnya sopir bis meninggal dunia. Alasan macam apa itu? Sudah kuduga bakal seperti ini jadinya. Perasaanku sudah tidak enak sebelum naik bis ini. 

Semuanya karena aku tertidur dan tidak bangun untuk waspada. Ifdal dan Bang Ilul yang terbangun dengan tergesa-gesa membuatku sedih sekali. Ini adalah poin ketika aku menyadari bahwa aku sayang pada mereka berdua. Aku akan melindungi mereka berdua dengan semua yang aku bisa, dengan caraku sendiri. 

Kubelikan Bang Ilul antimo dan kupastikan dia tidur selama yang aku bisa agar tidak mual sepanjang perjalanan. Aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak tertidur lagi, berjaga-jaga. Idal menemaniku dengan mengobrol sepanjang malam itu. 

Kekhawatiranku yang berlebihan sangat tidak beralasan, menurut Idal. Aku tidak perlu memaksakan diri seperti itu untuk mereka. Aku tahu, tapi aku melakukan hal aneh tadi, sok kuat, juga ada alasannya. 

Aku tahu bagaimana reputasi Sumber Kencana, aku pun mengalami bagaimana kenekatan para sopir bus itu, aku juga belum mau mati setidaknya tahun ini, dan kalau terjadi kecelakaan di antah berantah ini, apa yang harus aku katakan pada Ibu Bapakku padahal aku tidak pernah minta izin berangkat pada mereka. 

Ketika bis sudah sampai Terminal Surakarta, tempat yang pernah sekali kudatangi, dan kota yang sudah kukenal baik, juga Bang Ilul sudah terbangun dari tidurnya yang panjang, baru aku memutuskan untuk tidur. Untungnya memutuskan untuk tertidur tidak membawa kesialan buatku. 

Pukul 4 pagi kami sampai di Terminal Giwangan dan menunggu pagi waktu operasional bis Trans-Jogja untuk pulang. Apalagi kalau bukan dengan mengisi TTS sepanjang waktu itu? Baru jam 8 pagi kami memutuskan untuk meninggalkan terminal. 

Pulang kerumah masing-masing untuk tidur dan bangun-bangun untuk merasa dua hari terakhir kami bermimpi sapai Surabaya dan Madura.

24 Januari 2012

my private library

someday.

selamat tinggal

based on Sephia – Sheila On 7

Hujan deras mengetuk jendela kamarmu, Sephia. Sejak enam jam yang lalu hingga tengah malam seperti ini langit gelisah dan berbuat gaduh. Seolah tahu apa yang berkecamuk di hatiku.

Kau Sephia, juga tahu aku gelisah. Namun memilih percaya padaku ketika kukatakan aku baik-baik saja dan tersenyum riang sepanjang malam ini untuk menghiburku. Kini kau tertidur pulas di pangkuanku karena kelelahan. Namun bibir pucatmu tersenyum bahagia.

Aku sangat bahagia dapat membuatmu bahagia, Sephia. Hanya di hadapanmu aku benar-benar mampu menjadi diriku sendiri sedangkan di luar aku menjadi orang lain. Hanya bersamamu aku tahu apa itu bahagia sedangkan di luar aku hanya berpura-pura.

Malam ini kau bisa tertidur dengan nyaman kan Sephiaku? Setelah seminggu terakhir kau membutuhkan obat tidur untuk melupakanku setidaknya empat jam saja setiap harinya untuk bisa memejamkan mata. Wajahmu pucat dan kelopak matamu menghitam karena kurang tidur.

Dan semua itu karena aku, Sephia.

Itu semua karena aku tanpa tahu diri datang ke hidupmu, yang dengan sengaja mencuri hatimu yang polos itu. Meskipun aku tahu tidak ada apa-apa yang bisa kuberikan padamu. Aku tidak bisa bersamamu, sejak awal aku tahu itu. Aku sudah ada yang memiliki dan aku tidak bisa meninggalkannya. Keberadaanku selama ini hanya memberimu luka. Dari dulu awal kita bertemu, sampai kapanpun.

Aku tidak memaksamu memahamiku karena aku sudah terlalu banyak menyakitimu, Sephia.

Perlahan aku memindahkan kepalamu ke bantal. Membelai rambut indahmu. Membetulkan letak selimut yang menghangatkanmu malam ini.

Bening matamu yang terpejam telah lama kubuat berkaca-kaca. Kedua pipimu sudah terlalu sering dialiri air mata. Aku membuatmu sakit karena cintamu untukku. Tidak ada apa-apa yang bisa kuberikan padamu. Perasaanku padamu malah semakin menyakitimu. Aku memberimu harapan padahal aku tahu aku tidak bisa bersamamu. Aku tidak bisa, aku tidak berani, meninggalkannya.

Hujan sudah mereda dan suara detak jam dinding kini terdengar perlahan. Maafkan aku, Sephia. Lelaki pengecut sepertiku tidak pantas untukmu.

Aku sudah memutuskan. Bahwa aku tidak akan kembali lagi padamu, Sephia.

Malam ini akan menjadi kali terakhir aku menemuimu. Hatiku terasa sakit karena kutahu, ketika kau bangun tidur nanti, ketika kau sadar bahwa aku tidak akan kembali, aku akan menjadi lelaki yang paling kau benci sedunia karena telah meninggalkanmu.

Tapi kebencian memang lebih pantas kau berikan pada lelaki pengecut sepertiku daripada cinta.

Jangan pernah berikan hati polosmu itu pada lelaki pengecut sepertiku lagi, Sephia. Berikanlah pada lelaki yang mencintaimu sepenuhnya. Lelaki yang mampu memberikan hidupnya padamu. Lelaki yang tidak pernah berpikir untuk meninggalkanmu apalagi melupakanmu.

True love stories never have endings –Richard Bach

Lelaki itu bukan aku. Cinta sejatimu bukan aku, Sephia.

Untuk yang terakhir kali, aku mengecup keningmu, lebih lama dari biasanya. Aku selalu berharap kau bahagia Sephia. Meskipun caraku melakukannya adalah dengan membuatmu terluka.

Jangan mencariku lagi karena tidak ada yang bisa kau harapkan dari diriku selain luka. Sebenarnya aku pun tidak tahu bagaimana harus bersikap padamu setelah ini. Aku tidak tahu di mana harus kutaruh mukaku menghadapimu. Lupakan aku dan anggap saja kau tidak pernah mengenalku dalam hidupmu, Sephia.

Aku mengambil jaket yang kusampirkan di lengan sofa. Memakainya kembali sambil mengemasi barang-barangku yang tidak banyak di rumahmu.

Aku sungguh ingin melihatmu bahagia, Sephia. Aku memang sangat jahat, bahkan niat baik yang aku punya kulakukan dengan menyakitimu.

Satu-satunya cara bagimu untuk bahagia adalah dengan melupakanku. Sesegera mungkin. Satu-satunya cara bagiku membuatmu bahagia pun dengan meninggalkanmu. Kita berdua tidak akan mungkin bersama. Aku bukan untukmu, Sephia. Aku tidak pantas untukmu.

Aku beringsut perlahan keluar rumah, berusaha tidak menimbulkan bunyi. Aku tidak berniat membangunkanmu. Alasan terbesarnya karena aku tidak mampu melihatmu menangis, Sephia.

Kau yang lugu dan polos itu akan mendapatkan pelajaran berharga tentang cinta, Sephia. Aku tahu kau bisa melaluinya sendirian. Kau kuat, dan akan lebih kuat lagi setelah berhasil melupakanku. Aku yakin itu.

Sama tulusnya dengan butiran gerimis yang jatuh ke bumi, aku sungguh berharap kebahagiaanmu. Tanpa kehadiranku dalam hidupmu.

22 Januari 2012

buku koleksiku

sekarang aku sedang kembali menghitung ulang koleksi buku yang aku punya. menuliskan buku apa saja yang sudah aku punya sampai sekarang, dan beberapa menulis komentarku yang singkat terhadap buku itu. ditambah lagi menulis buku-buku apa yang akan aku punya, yang akan aku beli. sehingga ketika tiba-tiba ke toko buku atau ke pameran buku, aku tahu buku apa yang aku cari.

tapi biasanya aku hanya semangat sementara saja.

buktinya 2005 lalu ketika umurku 15tahun, aku sudah pernah mencoba menghitung dan menulis resensi buku. namun berhenti di tengah jalan karena buku-buku jauh lebih berkuasa menarik diriku daripada buku tulis tebal kosong yang tempat aku menulis resensi.

hari ini aku menemukan buku tulis besar itu, yang meskipun komentarku sangat kekanak-kanakan, tapi ternyata 7tahun yang lalu aku sudah cukup pintar memiliki ide untuk membuatnya. kali ini, meskipun dengan tingkat kepintaran yang berbeda, aku akan membuat daftar buku yang aku punya dengan lebih baik. dengan internet.

semoga tidak hanya berupa semangat sementara saja.

21 Januari 2012

mencandu twitter

sudah sebulan aku membuat akun twitter dan aktif di dalamnya. baru sebulan dan sangat banyak hal baru yang kudapatkan di sana. buatku twitter itu luar biasa. langganan internet dengan mobile phone setiap hari menjadi sama wajibnya dengan memiliki paket sms gratis atau telepon gratis.

dengan twitter aku bisa mendapatkan banyak berita internasional dengan lebih cepat dan akurat langsung dari sumbernya. aku juga bisa berbicara langsung kepada orang-orang yang selama ini aku idolakan yang entah ada dimana dan kalau beruntung, aku dapat bertukar pendapat dengan mereka. aku juga bertemu teman-teman luar biasa dengan kesukaan yang sama, juga kegilaan yang sama.

masih sebulan dan aku sedang kasmaran pada twitter. entah berapa lama hingga kesukaan ini memudar.