10 Oktober 2013

Buta Warna

Seandainya aku terlahir buta warna, maka dunia terlihat sebagai bayangan yang nyata.

Segitukah suramnya dunia? Aku hanya bisa bertanya. Tentu saja tidak pernah membandingkan, aku tidak tahu apa itu warna. Aku hidup dan mengisi hidup seperti orang biasa. Barangkali orang biasa pun mengisi hidup sama seperti orang buta warna. Tidak ada gesekan, juga tabrakan. Hingga muncul persyaratan masuk kuliah, kemudian persyaratan masuk kerja. Orang-orang biasa memberi batasan pada orang-orang yang tidak melihat dunia seperti bagaimana mereka melihat dunia. Adilkah? Bisa jadi adil, untuk jurusan dan pekerjaan yang benar-benar membutuhkan kepekaan warna. Tapi disingkirkan untuk pekerjaan sehari-hari karena buta warna? Yang benar saja.

Ini sama salahnya dengan apartheid; merendahkan golongan yang berbeda. Sama salahnya dengan Nazi; merasa unggul lalu menyingkirkan cacat. Sama salahnya dengan kediktatoran dan ketotaliterian; melarang perbedaan pandangan.

Padahal setiap orang hidup dalam dunianya sendiri. Persis seperti orang buta warna dan dunianya.

10 Agustus 2013

Batas

Apa batasan yang kupunya?

Mungkin salah satu cara menjawabnya adalah dengan mengumpulkan sebanyak-banyaknya, menempuh sejauh-jauhnya, menguasai seluas-luasnya.

Hingga nanti pada akhirnya aku tahu lantas menentukan apa batasku sendiri.

16 Juni 2013

Bagian Satu

(1) Aku ingin pergi dari sini. Mati di tempat yang jauh. Mati sendirian. Selama ini hidupku kujalani seorang diri, lantas kenapa mati mesti ditemani. Selama ini aku menangis seorang diri, tidak perlulah kematianku ditangisi beramai-ramai. Hidupku bukan hidup yang hiruk pikuk. Matiku pun diam sunyi.

(2) Aku ingin mati di tempat asing. Dikuburkan orang asing. Selagi pengasingan kuhukumkan pada diri. Diri yang terasing. Lebih baik mati di hadapan orang yang tak tahu sejarah diri. Daripada mati di hadapan orang dekat yang menggunjing masalalu. Hidup mati berselimut gunjingan.

(3) Maka keputusanku sudah bulat. Aku akan pergi jauh. Tanpa pesan. Karena tak ada siapapun yang berhak kuberi pesan. Tanpa peringatan. Karena tak ada siapapun yang perlu kuingatkan.

(4) Angin dingin menggigilkan tulang punggung. Kurapatkan jaket yang basah kuyup. Gigi gemeletuk. Bukubuku jari pucat keriput. Aku duduk di sudut parkiran yang sibuk. Lalu lalang kendaraan mencipratkan noda pada celana. Celana yang juga basah kuyup. Sepatu kets yang basah kuyup. Rambut yang basah kuyup. Mata yang basah kuyup. Hidup yang basah kuyup.

(5) Aku persis kucing kotor terperosok selokan. Ah, tapi apa hidupku masih butuh perumpamaan?* Wiji Thukul

(6) Halilintar pecah. Hujan tumpah. Banjir sumpah serapah.

15 Mei 2013

Dekonstruksi Sapardi

Aku sudah pernah membuat tulisan mengenai buku yang mengubah hidupku. Kali ini bukan buku, ada satu puisi yang sangat berpengaruh dalam hidupku. Sepenggal puisi Sapardi Djoko Damono.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu pada api yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Seperti isyarat yang tak sempat disampaikan awan pada hujan yang menjadikannya tiada.

Sekali dua kali kudengar, kata-katanya biasa saja. Kuat metafor. Lama kelamaan kupahami, ternyata ini puisi luar biasa. Cinta dimaknakan ulang oleh Sapardi. Cinta dalam puisi ini, bukan sesuatu yang dipaksakan, diungkapkan membabibuta, dibudakkan, atau bahkan dituhankan. Cinta itu biasa saja. Bahkan ketika ia menjadi cinta platonis, tidak dipertemukan takdir, ia tetaplah cinta.

'Aku Ingin' mendobrak paradigma mainstream masyarakat yang tanpa sadar membuat banyak persyaratan dalam cinta. Misalnya pola pikir aku ingin orang yang kucintai sepeti ini, seperti itu, harus begini, harus begitu. Syarat-syarat yang jika dikumpulkan dan dibangun akan menjadi sebuah piramida besar yang dimaknai sebagai cinta. Piramida itu telah dihancurkan oleh Sapardi. Dekonstuksi makna dilakukan Sapardi pada Cinta. Cinta adalah sesuatu yang lumrah, sederhana, tidak bersyarat, tidak memonopoli, tidak menguasai, tidak menghamba, tidak menuntut. Ya cinta saja. Positif.

Aku bersyukur memahami puisi ini ketika sedang jatuh cinta. Karena cinta ini tidak keburu berkembang menjadi monster piramida bersyarat yang akan runtuh kapan saja. Dan aku lebih bahagia karenanya.

28 April 2013

Aku

Aku lahir beberapa hari setelah Nelson Mandela dibebaskan. Setelah dipenjara selama duapuluh tahun lamanya. Karena ia memperjuangkan kesetaraan hak asasi manusia. Pembebasan Nelson Mandela menandakan bahwa perlawanan bisa dilanjutkan, bahwa apartheid mungkin dihapuskan. Aku lahir ketika Afrika Selatan diliputi harapan berbuncah-buncah. Harapan akan masa depan yang lebih baik bagi kulit hitam. Harapan akan masa depan yang terbuka lebar.

Aku lahir ketika Eropa sedang mengalami eforia pasca runtuhnya Tembok Berlin. Tembok yang membagi Jerman menjadi dua: German Barat dan German Timur. Tembok yang membagi Eropa menjadi dua: sosialis dan kapitalis. Tembok yang memenjarakan masa lalu dalam perang saudara tanpa akhir atas masa depan yang lebih baik. Runtuhnya Tembok Berlin merupakan simbol runtuhnya sebuah penjara besar bagi rakyat Eropa. Eropa bersatu. Menyatukan masa depan mereka. Aku lahir ketika eforia akan harapan membanjiri Eropa. Harapan akan kemajuan Eropa di masa datang. Harapan akan sosialisme dan komunisme bersisian. Harapan akan kedamaian tanpa perang.

Tepat pada saat itulah aku lahir. Ketika harapan-harapan menjadi pandemi global. Ayah Ibuku memberiku nama Nadia tanpa alasan. Keduanya tak paham isu global. Tapi sesungguhnya Tuhanlah yang menuliskan nama dan takdir bagiku.

Nadia dalam Bahasa Rusia berarti Harapan. Harapan akan dunia yang lebih baik. Harapan akan dunia yang lebih setara. Harapan akan dunia yang lebih memanusiakan manusia. Harapan akan masa depan impian. Barangkali ini yang dinamakan takdir.

26 April 2013

Tato Titik Biru di Siku Kanan Ibuku

Mamaku punya sebuah tanda biru di siku kanannya. Bentuknya bulat diameter satu sentimeter. Berwarna biru. Selama ini aku mengira itu tanda lahir. Mungkin mama juga mengira begitu.

Tapi baru kemarin aku tahu persis, tanda apa itu.

Mamaku lahir di Pulau Biak, Kabupaten Biak Numfor, tahun 1965 ketika Papua masih bernama Irian Barat dan belum tergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sekitar tahun 1950-1960an, Irian Barat mengalami endemi frambusia, sebuah wabah penyakit kulit hebat akibat cacing dan membunuh sekitar 40% penduduk Irian Barat. Untuk mencegah penyebaran penyakit frambusia, semua bayi yang lahir di Papua antara tahun 40an akhir hingga 60an akhir, diberi vaksin frambusia. Untuk menandai bayi mana yang belum disuntik dan yang sudah caranya dengan mentato mereka.

Menandai dengan tato di Papua adalah hal yang lumrah. Budaya tato dengan motif geometris seperti garis dan titik merupakan penanda suku, motif yang berbeda menunjukkan suku yang berbeda. Meski sekarang anak muda Papua sudah jarang menato tubuhnya. Saat itu tanda dengan tato adalah cara yang paling logis. Tidak mungkin menandai dengan dokumen, atau kertas, atau kartu sehat, karena sebagian besar masyarakat Papua belum bisa membaca aksara.


Namun belakangan ini tato biru frambusia menjadi wacana sosial dan politik di Papua. Pasalnya krisis kesejahteraan di Papua seringkali dikaitkan dengan kedatangan pendatang dari luar yang menguasai segala sektor kehidupan, sehingga masyarakat asli Papua menjadi tergantung dan terpinggirkan. Maka sentimen terhadap orang luar merebak.

Semua orang dibagi dua: pendatang dan asli Papua. Pendatang dengan kulit putih, rambut lurus, dipanggil ‘amber’ dalam Bahasa Biak, dan tanpa tato. Sedangkan masyarakat asli Papua dengan kulit hitam, rambut keriting, dipanggi ‘Komin’ pun dari Bahasa Biak, dan dengan tato. Perbedaan fisik ini yang sering diwacanakan ketika sentimen antar ras menajam.


Padahal mamaku adalah seorang bukan asli Papua, namun juga memiliki tato titik biru di sikunya. Barangkali kalau mama kembali lagi ke Papua dan mendamaikan kedua belah pihak, ‘perdamaian’ akan tercipta. Ya tapi itu pun kalau mama tahu dan mau.

25 April 2013

Hati Hati Imajinasi

Mendengar kata ‘Bon Voyage' rasanya seperti mendengar kepakan layar kapal yang baru kubentang, seperti mendengar koakan burung camar di kejauhan, seperti mendengar deburan ombak yang menampar dermaga, merasakan angin yang membelai telinga.

Dipanggil dengan kata ‘Mademoiselle' rasanya seperti aku mendadak ganti kostum. Memakai gaun Abad Pertengahan Eropa, dengan rok menggembung lebar, kaos tangan sampai siku, topi lebar dengan pita, dan payung berenda.

Diberi ucapan ‘Bon Lecture' kedengarannya seperti aku mendadak pindah lokasi. Aku berada di tengah tumpukan serakan kitab tua yang lebih tua dari ayahku. Tidak, aku tidak sendiri. Aku ditemani seorang profesor galak yang menyebalkan.

Baca ‘Bon Visit' jadi inget pernah berkali-kali baca Visit Indonesia yang tak kunjung usai sejak 2009, 2010, 2011, 2012. Entah sampai kapan lagi.

Ketika aku pergi dan dilepas dengan ‘Bon Route’, itu seolah-olah aku Amelia Earhart, pilot perempuan pertama di dunia. Menenteng helm pilot dengan kaca mata besar sambil melambaikan tangan akan pergi mengelilingi dunia dengan pesawat baling-baling.