30 Mei 2011

Tamu-Tamu Bapak

Bapak kedatangan tamu lagi seperti biasa. Tapi kali ini Ayuning tidak diperbolehkan ikut ke depan. Gadis kecil itu keheranan.

"Ibu, siapa yang datang bu? Kenapa saya ndak boleh ke depan?"

Ayuning heran. Biasanya bapak dengan bangga memperkenalkan anaknya pada teman-temannya. Kadang-kadang Ayuning yang disuruh menemani bapak. Kadang-kadang juga masnya. Bapak bilang, ini agar mas dan Ayuning cerdas seperti bapak. Ayuning hanya mengangguk-angguk. Dia tahu, bapak orang paling cerdas sedunia.

Lagipula Ayuning suka dibanggakan. Ayuning suka duduk dipangkuan bapak selagi bapak berbicara dengan teman-temannya. Ia mengangguk-angguk seolah mengerti, tapi sebenarnya tidak, dia hanya berpura-pura mengerti. Dia ingin seperti bapak. Ayuning suka ikut-ikutan tertawa padahal dia tidak tahu kenapa bapak dan teman-teman bapak tertawa, Dia ikut tertawa saja, itu tidak salah menurutnya. Sudah tertawa pun sudah senang.

Tapi Ayuning merasa, cara bicara teman-teman bapak aneh. Mereka bicara cepat sekali. Kadang-kadang Ayuning tidak mengerti maksudnya. Cara bicara begitu seperti cara bicara orang-orang tempat tinggalnya yang baru ini. Berbeda dengan cara bicara keluarganya. Atau apa malah menurut orang-orang daerah sini, keluarganya yang aneh? Entahlah, anak sekecil dia mana tahu hal-hal seperti itu.

Tapi kata Bapak itu tidak masalah. Cara bicara yang berbeda mungkin menunjukkan kita berbeda budaya, tapi bukankah itu indah? Begitu tanya bapak balik padanya. Ayuning hanya mengangguk-angguk. Bapak benar, bapak orang paling cerdas sedunia.

"Itu teman bapak nduk, kamu di dalam kamar saja sana sama masmu. Jangan keluar sebelum mereka pulang."

Wajah ibu pucat, ibu tidak pernah setegang ini. Ayuning merasa tamu bapak kali ini bukan orang baik-baik seperti biasa. Tamu ini menakutkan. Tamu ini bukan teman bapak. Teman-teman Bapak orang-orang baik. Ayuning senang pada teman-teman bapak. Kepalanya sering dielus-elus. Mereka bilang, nama Ayuning pantas untuknya, karena dia memang manis. Ayuning langsung lari ke dalam rumah karena malu, lalu dia dengar teman-teman bapak tertawa. Bapak juga ikutan tertawa. Ayuning juga ikutan tertawa di dalam rumah.

Kali ini Ayuning tidak berani bertanya lagi pada ibu. Nanti ibu bisa marah. Ia segera masuk kamar, tapi sebelumnya ia menghitung jumlah gelas yang dibawa ibunya keluar. Ayuning memang baru belajar berhitung. Seringkali hitungannya salah. Tapi kali ini dia yakin. Dia sudah menghitung tiga kali. Jawaban ketiganya sama. Ada lima gelas. Untuk bapak satu, yang lainnya empat untuk tamu-tamu bapak. Ibu biasanya tidak ikut menemani bapak.

Ayuning tiba-tiba sadar. Empat gelas untuk tamu-tamu bapak! Berarti ada empat orang tamu Bapak dan mereka bukan teman-teman Bapak. Perasaannya mulai tidak enak. Tapi apa boleh Ayuning langsung menuduh tamu-tamu bapak bukan orang baik-baik? Padahal ia sama sekali belum melihat mereka. Ibunya sering menasehatinya untuk tidak boleh curiga terhadap orang yang belum dia kenal. Itu dosa katanya. Nanti jadi temannya setan.

Tapi perasaannya masih tidak enak. Ayuning tidak bisa untuk tidak khawatir pada Bapak. Ia tidak mau terjadi apa-apa pada bapak. Ayuning sayang bapak.

Masnya duduk di atas kasur sambil menunduk dan memeluk lututnya. Wajah mas pucat juga, seperti ibu. Wajah mas pucat seperti saat itu. Ayuning ingat persis, mas pulang dari sekolah sambil menangis. Setahunya, mas tidak pernah menangis. Dan Ayuning ingin tahu kenapa masnya menangis, ia lalu mengintip dari pintu yang sedikit terbuka ketika mas bercerita pada ibu.

“Ibu, apa salah jika saya dilahirkan sebagai Orang Jawa?” masnya masih terus menangis sesegukan, ibu memberinya segelas air putih. Ibu tahu untuk tidak bertanya apa-apa pada mas ketika mas menangis. Masnya pasti akan bercerita tanpa dipaksa. Ibu lebih memahami mas daripada Ayuning memahaminya.

“‘Ndak ‘Gus, kita ndak salah.” Ibu menggeleng, wajahnya sedih. Sepertinya ibu sudah tahu apa yang akan diceritakan masnya. Tapi Ayuning belum tahu. Ia tetap mempertahankan posisi tubuhnya mengintip. Ia masih ingin tahu.

“Lantas, kenapa teman-teman mengejek-ejek saya karena saya Orang Jawa bu?” mas mulai menangis lagi. Tapi air matanya segera dihapus ibu.

“Mereka bilang, Orang Jawa pulang saja sana ke Jawa. Mereka bilang, kita disini menjajah mereka, seperti yang Belanda lakukan bu. Padahal mereka yang mengejek saya di sekolah, bukan saya. Apa salah kita bu?” suara mas sudah pecah. Mas menangis lagi. Ibu tidak mampu menghapusnya. Jadi ibu memeluk mas. Ayuning ingin dipeluk ibu seperti itu. Pasti hangat dan nyaman. Tapi Ayuning tidak ingin menangis. Ia tidak ingin ibu sedih karena dia menangis. Ia ingin dipeluk ibu ketika ibu tersenyum.

‘Gus, kita ‘ndak salah karena lahir sebagai Jawa. Mereka membenci seseorang karena seseorang itu sudah menguras harta mereka turun temurun. Harta bumi mereka. Sayangnya, seseorang itu adalah seorang Jawa. Makanya mereka membenci kita secara keseluruhan.”

Ayuning ingat, ibu juga pernah bilang pada mas, waktu itu Ayuning duduk disebelah mas, tiap orang Jawa seharusnya bangga terhadap keJawaannya. Bukankah sebuah budaya yang mengharuskan seorang anak berbakti pada orangtuanya merupakan budaya yang mulia? Bukankah budaya yang mengajarkan untuk berkata halus dan menerima kegagalan dengan tersenyum merupakan budaya yang indah? Saat itu Ayuning belum mengerti.

Bapak juga pernah bilang, seorang Jawa adalah seorang yang bertanggungjawab terhadap tugasnya. Orang Jawa orang yang berhati lembut dan mudah menolong yang lain, tapi tidak pernah kehilangan harga dirinya. Karena tiap orang Jawa selalu bekerja keras atas apa yang didapatkannya. Ayuning semakin bangga karena dilahirkan sebagai Orang Jawa.

“Tapi itu ndak adil bu. Yang salah satu orang, tapi malah saya dibenci teman-teman saya. Saya ndak bisa begini terus bu. Ejekan mereka terhadap saya sudah sangat keterlaluan.”

’Gus, biarkan saja mereka mengejekmu. Diamkan saja. Mereka mengejekmu bukan karena kesalahanmu. Bukan juga kesalahan budayamu. Tapi karena seseorang itu. Maafkan mereka ‘Gus, karena budaya kita mengajarkan kita untuk saling memaafkan. Beritahu mereka ‘Gus, dengan tindakan kita, bahwa budaya kita tidak seperti yang mereka tuduhkan.”

Ibunya benar. Ayuning sudah mengerti sekarang. Tapi kepalanya pusing sekali. Kenapa orang besar berbicara dengan kata-kata yang memusingkan? Ia lalu tidak mendengar pembicaraan mas dengan ibunya lagi. Dia masih pusing. Tapi Ayuning sudah memutuskan.

Ayuning memang belum bersekolah seperti masnya. Ia belum tahu bagaimana rasanya sekolah dan punya teman sebaya. Tapi sejak masnya menangis, Ayuning tahu, sekolah itu belum pasti menyenangkan. Teman-teman masnya bukan orang baik.

Lalu Ayuning memperhatikan masnya lagi. Wajah masnya masih pucat. Ia berpikir jangan-jangan wajahnya juga sepucat masnya. Tapi dia tidak berniat melihat cermin. Ia ingin bicara pada masnya. Masnya pasti tahu sesuatu.

“Mas, sing teka kui kanca-kancane bapak to1?” Ayuning mendekat. Dan duduk di sebelah masnya. Seburuk apapun yang akan terjadi, dia aman selama masnya ada disampingnya.

Mas melihat matanya lama sebelum menjawab, “Ra rerti, jo takon-takon meneh, kowe jeh cilik. Kui urusane bapak. Aku yo ra dong2.” Umur mas tujuh tahun lebih tua daripada Ayuning. Mas juga lebih mirip bapak daripada dirinya, juga lebih cerdas. Jadi Ayuning tahu, masnya bohong.

Kandake to mas3, ibu kenapa, mas kenapa, siapa orang yang di depan. Ada empat orang mas, banyak to.” Ayuning menunjukkan tanda empat dengan jarinya. Ia ingin membuat mas terkesan, ia sudah bisa menghitung. Tapi sepertinya mas tidak menyadarinya.

Aku ra dong Ning, ngko takon bapak wae4.”

Sebelum Ayuning mendesak masnya lagi. Tiba-tiba terdengar ribut-ribut di luar. Ayuning mendengar suara bapak berteriak. Kemudian tangisan ibu terdengar. Perasaan Ayuning semakin tidak enak.

“Mas, bapak..” Ayuning meminta penjelasan dari masnya. Tapi masnya diam saja. Wajahnya mengeras. Dari nafasnya, Ayuning tahu, masnya juga sama ketakutannya seperti dirinya. “Aku mau keluar mas, takut bapak nanti kenapa-napa.” Ayuning bangkit, tapi ditahan masnya.

“Jangan Ning. Ibu bilang kamu disini aja sampai semuanya selesai. Inget ibu, Ning.” Ayuning ingat ibunya. Ia benar, dia tidak boleh keluar. Dia tidak boleh membuat ibu menangis, ia tidak mau membuat ibu sedih. Akhirnya Ayuning tidak ingin keluar sekarang.

Suara diluar akhirnya berhenti juga. Ayuning melihat masnya, masnya mungkin tahu kapan saatnya selesai. Tapi mas tidak melihatnya, mas masih menunduk, sepertinya mencoba mendengar suara-suara diluar. Tapi tidak ada apa-apa lagi. Mas menggandeng Ayuning dan melangkah keluar kamar tanpa mengatakan apa-apa. Ayuning menurut, tangan masnya membuatnya sedikit tidak takut lagi.

Ayuning dan mas keluar. Tamu-tamu bapak sudah pulang. Rumah sudah sepi. Tapi terdengar suara ibu menangis terisak-isak. Ada bapak disampingnya. Bapak menenangkan ibu, bapak memeluknya. Semua orang pasti sedih kalau melihat ibu menangis. Ayuning juga sedih.

Gus, Nduk, sini deket bapak, bapak mau bicara,” bapak melepas pelukannya pada ibu dan menyeka air mata di wajah ibu. Ayuning melepas pegangannya dari tangan mas. Ia berlari memeluk ibu. Gantian, ia juga ingin menenangkan ibu.

“Mas, Ning, kalian berdua tahu kan kita disini jauh dari rumah kita yang dulu? Disini kita juga ndak punya siapa-siapa? Dulu bapak bilang ini namanya petualangan, kalian harus menikmatinya. Tapi sekarang semuanya sudah selesai.” Ayuning memperhatikan bapak. Rahang bapak memar. Tapi dia tidak berani menyela untuk bertanya.

“Kita harus pulang ke Jawa. Sekolah mas akan bapak pindahkan ke sekolah di Jawa. Besok mas ndak perlu sekolah disini lagi. Disini udah ndak aman lagi. Teman-teman bapak sudah ndak bisa melindungi kita lagi. Bapak juga ndak bisa melindungi mas waktu mas di sekolah.”

Mas mengangguk. Mas sudah mengerti. Tapi Ayuning belum mengerti. Kepalanya tiba-tiba pusing. Tapi kali ini dia memaksa mendengarkan bapak lagi. Bapak sedang bicara padanya.

“Sekarang orang-orang sudah ndak suka lagi sama suku kita. Beberapa masih tahu mana yang benar mana yang salah. Mereka itu teman-teman bapak. Tapi mereka ndak bisa terus melindungi kita, mereka juga ndak aman.”

Bapak memegang rahangnya yang memar. Ndak aman maksudnya dipukuli, Ayuning mengangguk, ia tidak ingin bapak dipukuli. Atau nanti mas juga mungkin dipukuli. Ia juga sayang mas.

“Tadi bapak kedatangan tamu, katanya bapak disuruh pulang ke Jawa. Kalau bapak masih disini, nanti katanya mereka ndak bisa jamin kita ndak apa-apa. Sekarang mas sama ning bantuin ibu beresin barang-barang buat pindahan ya. Sekarang bapak mau keluar dulu, bapak mau ngurusin yang lain.”

Itu penjelasan bapak sebelum bapak keluar rumah. Ayuning belum mengerti sepenuhnya. Tapi ia mengangguk. Tamu-tamu bapak tadi bukan orang baik-baik. Mereka memukul bapak. Mereka membuat ibu menangis. Tapi paling tidak mereka sudah pulang.

Rumah Ayuning yang dulu jauh. Perjalanan pulang lama sekali. Ayuning menghitung, kali ini mas sudah percaya dirinya sudah bisa menghitung, sudah empat hari penuh mereka berada di dalam mobil bapak. Tapi belum sampai juga. Tapi tidak apa-apa Ayuning lelah. Yang penting ibu tidak sedih lagi. Bapak tidak dipukuli lagi. Ia tidak pernah melihat mas menangis lagi. Dan tamu-tamu bapak itu tidak pernah datang lagi.


1mas, yang dateng itu temen-temennya bapak kan?

2tidak tahu, jangan tanya-tanya lagi, kamu masih kecil. Itu urusannya bapak, aku juga tidak tahu.

3Kasi tahu dong mas,

4Aku juga tidak tahu Ning, nanti kamu tanya bapak saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tulis saja apa yang kau pikirkan