30 Mei 2011

Aksi Penyadaran

Nito bahkan tidak ingat tadi malam dia mimpi apa. Tapi Nito pasti akan mengingat hal ini sampai mati, bahwa hari ini hari terburuk dalam hidupnya.

Tadi malam semuanya begitu menyenangkan. Acara festival musik di kampusnya begitu meriah. Sama meriahnya seperti festival musik yang pernah dia lihat sebelumnya dan yang sebelumnya lagi. Semua orang menikmatinya.

Minuman-minuman keras dibagikan gratis oleh panitia di tengah-tengah acara, Nito selalu mengambil dua botol. Keduanya langsung dihabiskan begitu botol-botol itu sampai di tangannya. Teman-temannya hanya tertawa dan menurut memberikan botol-botol lain jatah mereka.

Sayangnya panitia-panitia pelit itu tidak membagi-bagikan rokok. Mereka bodoh, begitu ungkapnya berulang-ulang pada teman-temannya, memberikan minuman tapi tidak rokok. Padahal dilihat darimanapun minuman jelas lebih mahal daripada rokok. Lalu teman-temannya tertawa.

Terserahlah, Nito tidak peduli teman-temannya tertawa karena perkataannya benar atau mereka tertawa karena kebodohan dirinya. Yang penting dirinya mendapat jatah minuman tambahan setiap minumannya habis. Yang penting mereka selalu menyelipkan rokok di bibirnya dan menyulutnya saat rokoknya sudah habis. Yang penting ia masih bisa memanfaatkan mereka untuk mendapatkan barang.

Pacarnya yang menemani di sampingnya merasa bangga padanya, Nito menghabiskan botol-botol minuman dan batang-batang rokok pemberian teman-temannya langsung di depan kekasihnya. Nito ingin membuatnya kagum pada dirinya, bahwa dialah laki-laki paling hebat sedunia. Meskipun setelah itu dia muntah-muntah di kamar mandi atau batuk-batuk sepanjang hari besok.

Tapi terserahlah, yang penting pacarnya yang cantik jelita itu merasa dirinya hebat dan tidak pergi meninggalkannya. Nito masih membutuhkan tubuh pacarnya.

Panggung acara musik semalam penuh dengan hentakan-hentakan musik keras. Tapi itulah yang disukainya. Semua orang berloncat-loncat mengikuti hentakan musik. Dia juga, kekasihnya juga. Semua musik-musik yang tidak jelas itu seakan mengingatkan dunia bahwa dirinya ada dan berbeda. Tapi dalam hati Nito bertanya-tanya kapan panggung itu roboh.

Begitu terus pesta hingga dini hari. Nito pun terkapar di kampus karena mabuk tanpa diperbolehkan pulang. Lalu Nito bahkan tidak menyangka apa yang terjadi pagi harinya. Yah, tadi malam memang sangat menyenangkan, umpat Nito, tapi sejak tadi pagi nasibnya berubah.

Ketika bangun, yang Nito tahu hanya langit masih gelap. Entah itu dalam mimpi buruknya, entah itu masih malam, atau entah itu keesokan harinya karena dia tidur terlalu lama, ia tidak tahu, tapi semuanya begitu berantakan dan ribut.

Nito bangun karena suara teriakan semua orang di sekitarnya. Semua teman-temannya belarian kemanapun yang mereka bisa. Nito tidak sempat bertanya pada siapa-siapa, semua orang sedang berlari menyelamatkan diri.

Di tengah-tengah kekacauan itu, Nito sendirian tidak tahu apa-apa.

***

Demonstran? Nito bukan orang setidakberguna itu untuk menghabiskan waktunya dengan berteriak-teriak menurunkan harga kebutuhan bahan pokok atau BBM. Semua teman-temannya dianggapnya percuma melakukan itu. Teman? Nito merasa tidak pernah punya teman yang biasanya demostrasi di jalan. Buat apa berteman dengan orang-orang seperti itu.

Selalu dan selalu Nito mengatakan demonstrasi menurunkan biaya kuliah hanya omong kosong. Semua dalam hidup ini harus dibayar. Semakin bagus semakin mahal. Sampai matipun berteriak di jalan tidak akan ada yang mendengar. Hanya orang gila yang tidak mengerti itu. Nito beruntung dirinya tidak gila.

Orang-orang tidak penting itu banyak menuntut pemerintah untuk tidak korupsi, meminta alokasi pendidikan dua puluh persen, biaya kesehatan terjangkau, atau hal-hal yang Nito tidak mengerti lainnya yang juga tidak mungkin terwujud menurutnya.

Semua itu mahal. Semua itu perlu uang. Tidak mungkin meminta pemerintah membayarkan itu semua untuk rakyatnya. Apakah para demonstran itu buta? Penduduk Indonesia itu banyak sekali. Bahkan lebih banyak dari jumlah perempuan yang pernah tidur dengannya. Sejumlah itu saja sudah membuatnya kerepotan.

Orang-orang yang turun ke jalan itu terlalu sok idealis, maki Nito. Mereka pikir mereka paling benar sedunia? Apa mereka pikir Indonesia akan berubah hanya karena teriakan mereka? Bullshit apa yang mereka bicarakan tentang Indonesia. Apa pedulinya?

Ia memang sudah sejak dulu tidak suka dengan anak-anak yang bangga memakai almamater karena sok bisa merubah bangsa. Anak-anak kutu kupret itu selalu dia usir dan diejeknya ketika mereka memasuki pelataran jurusannya. Kebencian dan ketidaksukaannya terhadap anak-anak demonstran itu semakin bertambah sekarang.

Tadi pagi dirinya ikut ditangkap polisi karena ternyata orang-orang yang demonstrasi sial itu masuk ke kampus. Mereka melempari polisi dengan batu dan merusak banyak barang milik universitas. Polisi menangkap semua mahasiswa yang ada di kampus dengan membabi buta. Menangkap dalam arti sebenar-benarnya, mengejarnya, meneriakinya anak setan, memukulnya, dan menembak beberapa kali meskipun meleset. Mereka menangkapnya dan mahasiswa lain seperti menangkap anjing.

Polisi mengumpulkan mahasiswa tangkapan mereka di lapangan kampus dan memukulinya. Tindakan yang bahkan ayahnya pun tidak berani melakukannya pada dirinya. Di lapangan itulah harga dirinya direndahkan oleh bapak-bapak ini.

Hah, keluh Nito, ini semua juga gara-gara mahasiswa dengan aksi sok kerakyatan mereka mengatasnamakan seluruh mahasiswa universitas ini. Padahal dirinya sebagai mahasiswa tidak setuju dengan tindakan bakar-bakaran itu.

Aargh!! Semuanya sama tololnya! Sama gilanya! Apakah hanya dirinya yang masih waras hingga saat ini padahal tadi malam bukankah ia yang minum berbotol-botol minuman?

Polisi menemukan dirinya tidak lama setelah Nito bersembunyi. Padahal ia sudah berlari hingga lantai tiga kampus dan bersembunyi di bawah meja kuliah yang sering dia pakai. Yang tahu persembunyian itu memang hanya dirinya. Orang lain bersembunyi ke tempat lain di lantai tiga juga. Tapi tidak di kelas itu.

Nito tidak mengerti bagaimana polisi bisa menemukannya. Mereka berani mendobrak pintu kelas dan memecahkan jendela hanya untuk menemukan mahasiswa lainnya. Memangnya separah apa demonstrasi sial yang dilakukan anak-anak setan itu kali ini? Seumur hidupnya baru kali ini ada kekacauan sebesar ini di kampus.

Nito pikir, kerusuhan polisi mahasiswa yang paling parah itu ketika dirinya masih SMP dulu. Tapi bukankah sekarang presidennya sudah ganti? Kenapa masih ada kerusuhan seperti ini? Pertanyaannya tidak pernah terjawab.

Nito akhirnya digelandang dengan diseret lalu dipukuli. Ahya, benar-benar seperti anjing. Padahal Nito tidak melawan sama sekali. Tangannya sudah terangkat ke kepalanya dari awal, kesemutan tidak terasa lagi, seluruh tubuhnya sudah sakit dan penuh biru memar.

***

Saat ini Nito berada di dalam sel markas Polres bersama mahasiswa-mahasiswa tangkapan polisi lainnya. Penuh memar dan di beberapa tempat di kakinya terluka, tapi sudah di perban pihak kepolisian.

Keluarganya sudah dihubungi pihak polisi dan tadi sejam penuh dia diintrogasi polisi-polisi. Mengintrogasi tapi memojokkan. Menanyakan tapi menjebak. Seakan-akan teroris pemusnah WTC adalah dirinya.

Akhirnya polisi memang percaya bahwa Nito bukan termasuk anak-anak demonstran setan itu. Tapi urinnya diperiksa dan terbukalah semua rahasianya. Bahwa dia pemakai segala obat-obatan yang dilarang. Keluarganya pasti akan malu. Ah tapi peduli apa dengan keluarganya. Biasanya merekalah yang melupakannya.

Tapi bukan itu lagi yang Nito keluhkan, yang paling membuatnya muak dari semua ini adalah mahasiswa-mahasiswa sial anak setan yang satu sel bersamanya. Ini semua gara-gara orang-orang tidak ada kerjaan yang sok idealis itu! Ah sial! Nito memukul dinding sel. Tapi segera meringis karena tangannya penuh memar.

Mereka cengar-cengir dari tadi. Luka-luka mereka bukannya tidak lebih parah dari Nito, bahkan ada yang kepalanya bocor. Tapi anehnya mereka cengar-cengir merasa senang, bahkan merasa bangga atas luka-luka yang didapatnya masing-masing. Dari tadi tidak henti-hentinya mereka bercerita bagaimana kisah sok heroik tolol yang mereka hadapi.

Nito mendengar segala hal yang mereka bicarakan. Bagaimana tidak, ruangan ini hanya berukuran tiga kali tiga meter dan berisi rata-rata lima orang, setiap perkataan atau obrolan yang masing-masing lakukan pastilah terdengar. Entah Nito ingin mendengar ataupun tidak.

Salah seorang dari mereka merupakan perencana aksi besar tadi malam. Nito tidak mengenalnya sama sekali. Bahkan melihatnya pun tidak pernah kecuali saat ini. Tapi semua orang-orang disini mengenalnya dan menaruh hormat padanya. Nito tidak sudi. Bukankah berarti orang ini yang membuatnya ada di tempat brengsek ini.

Tapi orang itu terus saja bercerita pada yang lain, bahwa sebenarnya yang mereka lakukan untuk merubah bangsa ini tidaklah sia-sia. Bahwa perjuangan mereka ini dapat menyelamatkan seluruh rakyat Indonesia jika berhasil. Kalaupun tidak digubris, tindakan mereka paling tidak sudah berniat baik, dan sekecil apapun perbuatan baik pasti akan mendapatkan balasannya.

Bullshit, tiba-tiba Nito keceplosan memaki. Semua yang mendengar segera mengernyit ke arahnya. Nito tidak berniat meminta maaf. Semua yang dikatakan bapak sok idealis itu memang bullshit, memang omong kosong.

Tapi orang-orang yang mengernyit ke arahnya tidak juga memalingkan pandangan mereka dari Nito, mereka seakan butuh alasan mengapa Nito menghina mereka. Nito merasa risih, tapi tetap tidak mengungkapkan pendapatnya. Ia tahu, di depan orang-orang yang sudah biasa berdebat dan berdiskusi, dengan mudah pendapatnya akan terkalahkan. Berbeda dengan berbicara di depan teman-temannya yang takut pada dirinya.

Nito belakangan sadar bahwa dirinya yang sebenarnya adalah seorang pengecut. Lalu menyalahkan diri sendiri karena menyadarinya.

Kemudian salah seorang melanjutkan diskusi, Nito muak melihat kenyataan bahwa entah di dalam penjara ataupun di luar, orang-orang aneh ini terus saja berdiskusi. Sekarang Nito tidak sekesal tadi terhadap mereka. Karena dia sebenarnya juga seorang pengecut.

Salah seorang yang paling kecil, mungkin mahasiswa angkatan baru, menyatakan pendapatnya. Dan dengan segera pernyatannya menyedot seluruh perhatian tiap orang di dalam sel itu. Termasuk Nito.

Bahwa menurutnya mahasiswa itu punya empat tanggung jawab dalam hidupnya. Pertama kepada diri sendiri, betapa seorang mahasiswa belajar di kampus untuk mempersiapkan masa depannya dan pekerjaannya di masa yang akan datang. Nito tertohok, anak ingusan ini menyindirnya. Sebelumnya anak buahnya yang sekecil ini selalu disuruh-suruhnya dan sekarang ada seorang dari mereka yang mengguruinya?

Kedua, anak itu melanjutkan. Tanggungjawab kita terhadap orangtua. Apapun yang kita lakukan di kampus, kita harus mempertanggungjawabkannya pada orangtua kita karena mereka yang membiayai kita selama ini. Nito semakin kesal pada bocah itu. Dia pikir dirinya siapa. Nito menatapnya tajam.

Tapi anak itu tidak merasa terintimidasi dan terus melanjutkan. Ketiga, pada rakyat di sekitarnya, bagaimana seorang mahasiswa harus menjadi agent of change tempat tinggalnya. Harus ada sistem yang baik dan tertata karena ada mahasiswa di sana. Huh, mana sempat Nito mengurusi orang-orang lain. Saudara kandungnya saja tidak ia perhatikan. Kenapa harus mengurusi rakyat yang bodoh itu?

Udara dalam sel semakin gerah, hari semakin sore. Anak ini melanjutkan, tanggungjawab keempat mahasiswa adalah pada bangsa dan negaranya. Nito hampir meledak. Mukanya sudah merah. Ia tidak sabar memukul anak ingusan ini karena telah menyindirnya sepanjang diskusinya.

Nito memperhatikan ekspresi mahasiswa-mahasiswa yang lebih senior terhadap anak ingusan yang menggurui mereka. Tapi tidak ada yang kesal. Mereka semua hanyut dalam perenungan mereka masing-masing. Bahkan si pemimpin pererakan tadi malam terdiam dan merenungi betapa selama ini kuliahnya selalu menjadi nomor sekian setelah demonstrasi. Selama ini dia pikir pergerakan adalah segala-galanya.

Nito mengurungkan niatnya untuk memukul. Di sini tidak ada seorang pun yang menjadi sekutunya atau merasa digurui oleh bocah tengik itu. Salah-salah malah dirinya yang dipukul balik. Hah, dia memang pengecut.

Tapi Nito tetap tidak terhanyut. Ia masih dalam pendiriannya. Anak kecil itu mengguruinya, dan menggurui mahasiswa-mahasiswa yang lebih senior. Tapi sepertinya hanya dia yang sadar, sama seperti kasus awal. Polisi dan semua demonstran sama tolonya. Apalagi anak kecil itu.

Nito masih tidak ingat tadi malam dia mimpi apa. Ini mungkin memang hari paling buruk selama hidupnya. Tapi Nito akhirnya tahu, bahwa sebenarnya dia adalah seorang pengecut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tulis saja apa yang kau pikirkan