29 Mei 2011

Sebuah Catatan Amru

Amru dilahirkan bukan sebagai salah satu generasi emas seperti generasi Shalahuddin Al Ayyubi, tapi paling tidak Amru ingin mengubah dunia menjadi lebih baik dari sekarang seperti pemimpin-pemimpin besar dunia lainnya. Pahlawan-pahlawannya.

Ah tidak, dunia begitu mudah melupakan pahlawan-pahlawannya. Amru bahkan hampir tidak tahu siapa itu Mumia Abu Jamal, beritanya tidak memanas sampai Indonesia, padahal nilai-nilai kemanusiaan seharusnya tetap dibela meskipun Mumia orang Amerika. Untungnya Amru masih dapat mengenalnya melalui buku.

Ah ya buku, betapa ide-ide sebuah buku dapat menyeberangi samudra dan menembus waktu. Amru sendiri tidak pernah tahu, Mumia masih ada ataupun sudah dieksekusi mati oleh pemerintahan Amerika. Ia hanya membaca pemikiran-pemikiran Mumia yang ditulisnya ketika masih di dalam penjara: The Death Row. Penjara untuk orang-orang yang dieksekusi mati.

Betapa sebuah tetralogi Buru milik Pramoedya Ananta Toer membawanya ke masa kolonial dan kembali mencintai Indonesia dan optimis pada kelangsungannya. Betapa Pram sudah dianggapnya sebagai kakeknya sendiri yang tidak pernah bertemu dengannya.

Sebuah buku karya Andreas Harefa begitu membuka pemikirannya akan kemerdekaan pribadi. Ia tidak dapat membayangkan apa jadinya hidupnya tanpa buku itu. Buku itu telah mengubahnya hingga ia menjadi orang merdeka sekarang.

Paolo Coelho juga seorang guru besarnya yang tidak pernah bertemu dengannya seumur hidupnya, yang berjarak ribuan kilometer dari tempatnya duduk sekarang, tapi beliau mengajarkannya untuk terus bermimpi dan berjuang mencapai mimpinya itu, apapun yang terjadi padanya.

Bahkan para guru-gurunya tidak menyadari bahwa mereka semua memiliki murid seperti dirinya di sebuah tempat di pojok sini. Mumia Abu Jamal bahkan mungkin hanya sekilas mendengar tentang Indonesia dan memandang rendah orang-orang disini karena tidak berbuat apa-apa kepada muslim Amerika yang dizalimi. Pramoedya Ananta Toer bahkan sudah lama menginggal sebelum Amru mulai membaca karya-karyanya. Paolo Coelho mungkin tidak tahu ada seorang bocah disini yang begitu mengagumi The Alchemist dan berpikir ingin menjadi seperti Santiago, bocah yang mengikuti mimpi-mimpinya. Tapi paling tidak Andreas Harefa seorang Indonesia dan pernah juga memakai jas almamater yang sama seperti miliknya.

Tapi sekarang sangat sulit bagi Amru untuk mendapatkan buku-buku berkualitas. Buku-buku yang beredar dipasaran hanya berisi omong kosong. Mereka kosong plong tanpa kehidupan baru yang ditawarkan dan terjual menjadi best seller pun sebuah kenyataan yang memalukan. Betapa sia-sianya pohon-pohon dari hutan-hutan Indonesia yang semakin lama semakin habis dijadikan kertas untuk mencetak buku-buku omong kosong seperti itu.

Pernah bahkan sebelum membaca Tetralogi Buru, Amru merasa setengah mati heran. Mengapa empat buah novel, hanya novel, dapat membuat seorang Pram dipenjara dan dapat membuatnya dipisahkan bertahun-tahun dari keluarganya. Seharusnya Pram dipenjara untuk artikel-artikelnya, untuk kata-katanya yang lantang, atau seperti itu. Tapi empat buah novel? Sebuah novel menurutnya hanya sebuah omong kosong yang ditulis pada ribuan lembar kertas. Tapi akhirnya Amru membaca dan betapa jatuh cintanya ia pada kemampuan Pram memasukkan ideologi-ideologi hebat pada novel yang dibuatnya.

Mana ada tulisan sebegitu bagusnya jaman sekarang. Mana ada orang yang bisa membuat novel sebegitu bagusnya lagi. Atau sebagus buku-buku guru-gurunya tadi. Amru kesal sendiri. Perbukuan di Indonesia sudah dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Di daerah-daerah Jogja hingga Jawa Tengah misalnya, betapa buku, benda paling mulia dalam sejarah pengetahuan umat manusia, dijadikan alat penambah harta kekayaan para penguasa daerah. Tender buku-buku pelajaran di daerah-daerah menjadi rebutan, karena penyusunannya dan percetakannya mengadakan kong kalikong dengan pejabat setempat. Betapa hinanya!

Amru memang sering berjalan-jalan ke toko buku. Sebelumnya dia pikir toko buku adalah toko paling idealis sedunia. Karena masih bertahan untuk menyebarkan ilmu pengetahuan pada rakyat melalui buku yang dijualnya. Padahal toko-toko lain memilih jalan yang berbeda dan yang lebih mudah mendapatkan hasil instan khas jaman sekarang seperti restoran atau supermarket misalnya. Tapi akhirnya semua pandangan positif sebuah toko buku hancur seketika ketika semua buku di toko buku dibungkus rapi dan diplastik tanpa boleh dibuka. Beberapa toko buku bahkan hanya menyediakan etalase kaca panjang dan pengunjung hanya boleh melihatnya dibalik kaca. Pengunjung baru bertanya tentang sebuah buku hanya kalau benar-benar ingin membelinya. Apakah pengetahuan yang ada di buku hanya boleh dimiliki oleh orang-orang kaya yang mampu membeli buku yang mereka suka? Amru pikir, hanya toko buku yang masih idealis, tapi tidak, semuanya sudah dikuasai kepentingan masing-masing. Kapitalisme sudah menyebar kemana-mana, bahkan pada toko-toko buku.

Bagaimana mungkin ada sebuah konspirasi besar disini yang melarang pembeli melihat apa isi sebuah buku sebelum membelinya? Apakah ideologi yang dianut sebuah toko buku adalah pembeli hanya boleh membeli buku dalam plastik yang berarti membeli kucing dalam karung? Apakah ini tidak merugikan hak-hak konsumen?

Amru memang sedih ketika hanya bisa melihat sampul depan dan sampul belakang sebuah buku, tapi keprihatinan itu semua belum cukup. Banyak buku yang Amru lihat, memiliki cover yang hampir sama, judul buku yang hampir sama, bahkan nama pengarang juga hampir sama. Sebelumnya Amru sempat berpikir bahwa pengarang-pengarang ini memang kembar dan orang yang mendisain cover-cover buku ini orang yang sama. Mungkin saja desainer sampul buku ini merasa tidak perlu bersusah-susah mencari ide untuk cover yang baru. Tapi setelah tahu yang sebenarnya, bahwa buku-buku itu merupakan buku-buku epigon, Amru menjadi muak dan nyaris muntah karena begitu sedihnya. Buku-buku epigon itu buku-buku pengikut sebuah karya yang sudah menjadi best seller. Karena kesuksesan dan besarnya kekayaan penulisnya setelah terkenal, banyak orang yang melakukan hal yang sama, termasuk membuat karya yang dimirip-miripkan. Hina sekali!

Padahal arti buku itu lebih dari sebuah alat unuk terkenal bahkan untuk kaya. Rendah sekali orang berpikir seperti itu. Buku itu bermakna lebih dalam lagi. Buku bukan hanya sekedar beberapa ons kertas, lem dan tinta yang tercetak diatasnya, namun buku itu adalah penawaran ideologi pemikiran tentang kehidupan yang baru. Begitu yang pernah ditulis Andreas Harefa dalam buku Menjadi Manusia Pembelajar.

Tapi Amru menyadari sesuatu, mengapa buku-buku hebat seperti karya-karya Pram tidak ada yang memirip-mirip kan? Bukankah buku itu buku hebat yang pasti banyak orang yang suka membaca buku jenis itu? Dan pastinya laku? Lihat saja betapa banyak penghargaan yang diberikan pada Pram untuk Tetralogi Buru. Ditulis pun menjadi berlembar-lembar halaman. Menurut Amru, sebuah karya bahkan kelihatan lebih berharga bila sangat rendah hati seperti karya-karya Pram yang menuliskan penghargaan di halaman paling belakang buku dan bukan ditulis di cover padahal hanya sebuah tulisan best seller. Toh semua orang tahu karya-karya Pram pastilah semuanya best seller.

Mungkin buku-buku Pram merupakan buku-buku hebat yang pada saat membuatnya bahkan menghabiskan bertahun-tahun kehidupan Pram. Juga menghabiskan energi yang besar dari pengarangnya. Ah ya, Amru pernah merasakan hal itu. Ia pernah menulis sebuah cerpen yang menurutnya merupakan karya terbaiknya selama ini. Amru tidak berhenti menulis hingga akhirnya menangis bahagia karena telah menyelesaikannya. Ia lelah sekali dalam pembuatannya. Padahal hanya sebuah cerpen. Ia tahu sekarang, orang-orang itu tidak sanggup meniru karya-karya sehebat Pram, Mumia Abu Jamal, Andreas Harefa ataupun Paolo Coelho. Karena karya-karya mereka begitu hebat dan melalui proses yang sangat berat. Bagaimana mungkin orang-orang yang suka meniru itu, yang hobinya menjiplak dan instan sanggup melakukan hal seberat itu? Tidak mungkin. Amru tertawa meremehkan.

Buku-buku lain yang Amru lihat juga tidak ada bedanya antara satu dengan yang lain. Meskipun covernya berbeda dan penulisnya tidak meniru-niru, tapi cerita mereka sama-sama ringan. Sama-sama omong kosong menurutnya. Ada buku tidak penting yang terjual jutaan kopi padahal yang ditawarkannya hanya untuk tertawa setelah itu selesai. Ada buku-buku yang tidak penting lainnya yang juga mengikuti buku-buku tidak penting yang lain.

Baiklah Amru tahu masih ada banyak orang idealis di luar sana yang berusaha menyelamatkan bangsa ini dengan bukunya. Tapi memang orang-orang itu tidak seberapa. Dan kebanyakan mereka tergerus oleh industrialisme perbukuan, begitu kata seorang penulis. Ahya, semuanya tergantung pasar.

Ada orang yang bilang, Amru terlalu sombong dengan semua ocehannya, dengan semua ke-sok-idealisannya. Katanya Indonesia sejak dulu kala adalah bangsa dengan tradisi lisan, bukan tulisan yang selama ini diagungkannya. Tapi apa, Amru balas, apa yang dimiliki bangsa ini dengan lisannya? Tradisi bercerita dan mendongeng sekarang sudah luntur. Tradisi wayang di Jawa pun bahkan teman Amru itu tidak pernah menontonnya sampai selesai. Lantas apa lagi kalau bukan buku? Lantas apalagi yang bisa dilakukan kalau bukan meningkatkan kualitas bacaan di Indonesia?

Orang-orang idealis yang berusaha membangun lingkungan membaca di lingkungan rumahnya pun, beberapa kali dipandang negatif oleh warga, karena dinggap ingin terlihat terkenal atau semacam pamer banyaknya buku yang dimiliki. Hah, mengapa tidak semua orang bisa diajak bekerja sama untuk membangkitkan bangsa ini. Paling tidak untuk aspek buku saja di Indonesia. Kenapa semua orang masih mementingkan diri sendiri.

Dada Amru bergolak. Ia marah, tapi ia tidak tahu pasti marah pada siapa. Tidak ada orang yang sepenuhnya bertanggungjawab atas semua kejadian rendahan ini. Dan perjalanannya membawa perbaikan bagi seluruh dunia memang masih sangat panjang untuk selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tulis saja apa yang kau pikirkan