30 Mei 2012

Surat Untuk Bintang

Malam Bintang,
Salam kenal,

Aku senang ada yang mengajakku berkorespondensi melalui surat. Sayangnya Bintang, aku lebih suka dengan korespondensi tulis tangan daripada melalui email seperti ini. Terlalu cepat, terlalu instan, dan terlalu mudah. Persis seperti anak muda jaman sekarang yang dunianya seolah berputar sangat cepat. Ah anak muda. Bisa apa anak muda dengan keinstanan itu? Apa yang bisa mereka pelajari dari kehidupan kalau mereka suka hidup dengan cara yang instan seperti itu Bin?

Haha, pasti kamu heran ya, Bintang yang baik.

Memangnya siapa aku, kenapa bisa-bisanya aku berkata seperti itu tentang anak muda jaman sekarang? Apakah kamu sedang mendapatkan surat dari seorang tua? Haha, tidak Bintang. Bukan begitu.

Aku sendiri masih muda kalau ukuran muda adalah lama hidup di bumi, umurku masih 22 tahun. Umur yang seharusnya sedang sibuk dengan dunianya, dan tergila-gila pada dunia yang bisa digenggamnya dengan mudah. Bukankah begitu, Bintang yang cerah?

Dengan umurku yang 22 tahun ini, untuk sementara aku belum punya keinginan untuk hidup lebih lama dari 25 tahun. Aku sangat ingin mati Bin, sangat ingin mati muda. Keinginanku mati muda sudah kupunya sejak aku SMA kalau tidak salah ingat, sekitar tujuh tahun lalu. Hanya saja aku sendiri terlalu pengecut untuk bunuh diri. Karena aku masih meyakini, kematian hanyalah hak Tuhan. Aku manusia, tidak diperkenankan mengetahuinya. Tapi keinginan saja tidak dilarang kan Bin?

Pasti di sini kamu heran lagi, Bintang sahabat baruku.

Kenapa aku begitu ingin mati? Hmm, bagaimana menjelaskannya ya, darimana aku mulai menjelaskannya ya Bintang. Karena ada begitu banyak alasan yang dimiliki dunia ini yang membuatku sangat ingin mati muda.

Suatu ketika, ada teman yang berkata padaku, bahwa aku itu seperti pembatas buku. Anggaplah sejarah Indonesia ini ada dalam sebuah buku. Di dalam buku itu ada satu bab mengenai generasi tua, dan bab selanjutnya mengenai generasi muda jaman sekarang. Nah aku ini berada di tengah-tengahnya sebagai pembatas buku. Aku tidak termasuk generasi tua karena aku memang tidak dilahirkan di masa itu. Aku pun tidak seperti generasi muda ketika aku tidak sepaham dengan mereka, tidak berpikir dengan cara yang sama, pun tidak melakukan hal yang sama.

Manusia sepertiku entah manusia yang terlambat lahir di dunia ini, karena aku lebih memahami generasi tua daripada generasi anakmuda jaman sekarang. Atau bisa jadi aku malah manusia yang terlalu cepat hadir untuk generasi ini. Aku berpikir tentang masa yang akan datang dimana keinstanan atau kemudahan hidup yang dimiliki anak muda jaman sekarang tidak ada manfaatnya bagi pengalaman hidup mereka.

Tapi pemikir hebat seperti Soe Hok Gie atau Ahmad Wahib kan juga pada dasarnya adalah orang-orang yang terlalu cepat hadir bagi generasi mereka. Semoga saja aku begitu, seperti mereka. Aku orang yang terlalu cepat hadir di generasiku sehingga apa yang aku katakan atau aku pikirkan tidak bisa dipahami mereka.

Mungkin kamu tidak habis pikir, Bintang yang ramah. Kenapa aku bisa seperti ini. Tadinya aku pun bingung, ada apa denganku, apa yang salah dengan hidupku. Tapi belakangan mungkin aku bisa mengambil kesimpulan dari kebiasaanku.

Aku orang yang mungkin agak terlalu banyak membaca buku sejarah dan juga sastra. Buku-buku yang jarang dibaca anak muda jaman sekarang, Bintang. Dan dari buku-buku itu, aku kemudian muak ketika melihat kenyataan ternyata dunia ini tidak pernah belajar dari masa lalunya. Aku pun muak melihat kebejatan yang dilakukan manusia kepada manusia yang lain. Exploitation de l'homme par l'homme katanya, eksploitasi manusia oleh sesama manusia. Kemuakan ini membuatku lelah Bin, lelah sekali untuk hidup. Lelah sekali menjadi bagian dari umat manusia yang seperti ini.

Karena banyak membaca buku-buku seperti itu, aku menjadi orang yang sangat banyak bertanya, sangat banyak mempertanyakan, sangat banyak menggugat kenyataan. Apapun aku tanyakan, apapun aku pertanyakan, dan apapun aku gugat, Bintang sahabatku.

Mungkin kamu pikir banyak mempertanyakan adalah sebuah bentuk ketajaman pikiran, kritis katanya. Awalnya pun bagiku seperti itu. Awalnya bagi teman-temanku pun seperti itu, Bintang. Jadi pada awalnya kubiarkan saja.

Tapi ini sudah melewati batas. Pertanyaan-pertanyaanku membuatku gelisah tidak bisa tidur setiap malam. Mereka membawa serta mimpi-mimpi buruk yang membuatku ketakutan menutup mataku setiap malam. Pertanyaan-pertanyaanku membuatku gelisah tidak mampu makan. Mereka membawa serta nasib-nasib petani yang dirugikan dari makanan yang kumakan. Mereka juga membawa kelaparan dan kemiskinan yang diderita lebih dari separuh manusia di bumi, Bintang.

Pada akhirnya pertanyaan-pertanyaanku itu semakin lama membuatku ingin mati. Pertanyaan-pertanyaanku kini membunuhku! Bukan kritis namanya kalau begini, aku kini sekarat!

Maka aku menulis surat ini kepadamu, Bintang, cahaya yang berpendar lemah dari bumi. Setidaknya kamu menawarkan harapan di kegelapan malam. Bukankah semakin gelap malam, maka semakin bersinar dirimu, Bintang Sahabatku?

Aku menulis karena dengan menulis aku mampu menunda bunuh diri. Aku menulis surat ini karena aku menunda mati. Setidaknya untuk malam ini.

Selamat malam Bintang,
Hiduplah selama-lamanya.

Ruang Duduk Rumah Jogja,
30 Mei 2012
19:16

Nadia Aghnia Fadhillah
@nadanakaneh

---

Di perjalanan menuju warnet barusan aku hampir ketabrak, dan kalau surat ini tidak jadi aku publikasikan, bagaimana kelanjutannya? Seru yah? Hahaha.

3 komentar:

  1. barangkali kita lahir terlalu pagi, untuk mati terlambat..

    BalasHapus
  2. mo mampus gk sah buru2 keles

    BalasHapus

tulis saja apa yang kau pikirkan