15 Mei 2012

Suami Idealku

Hai,
Aku menulis tulisan ini sebagai penerimaan permintaan Mas Ardi Wilda untuk menulis seperti apa suami ideal yang kuinginkan. Sebelumnya aku menulis komentar di tulisan Mas Ardi tentang istri idamannya di sini.

Ini pertama kalinya aku menulis mengenai Suami Idealku karena sampai detik ini pun aku tidak merasa suatu saat akan saling direbutkan atau saling diributkan laki-laki sehingga harus memilih. Yang aku tahu, aku tidak cantik.

Aku juga belum pernah menulis seperti ini sebelumnya karena tidak begitu memikirkan tentang pernikahan. Bukan karena tidak ingin menikah, hanya saja aku lebih ingin mati muda bahkan sebelum menikah. Ketika aku memikirkan pernikahan, aku sebenarnya sedang bernegosiasi pada diri sendiri untuk memperpanjang keinginanku hidup. Juga kalau aku meminta pada seorang laki-laki; "Nikahi aku, Mas.", itu sebenarnya merupakan sandi S.O.S untuk menyelamatkan diriku dari keinginan mati saat itu juga.

Jadi, syarat pertama laki-laki yang bisa menjadi suamiku adalah yang mampu menunda keinginanku untuk mati. Karena aku ingin mati setiap harinya, maka laki-laki ini pun harus bisa menunda keinginanku itu setiap hari pula. Penundaan ini bisa dilakukan dengan menunjukkan hal-hal baru yang menyenangkan atau bahkan yang luar biasa dari dunia, memperkenalkan dengan aktivitas baru yang seru, merekomendasikan buku-buku luar biasa yang belum pernah aku baca, atau mengajakku ke tempat-tempat baru. Bisa juga dengan memiliki anak. Karena aku pasti tidak ingin mati ketika bertanggungjawab terhadap karakter anak-anakku nanti.

Syarat yang kedua adalah laki-laki ini bisa aku ajak bicara tentang apapun; kemuakanku pada pemerintah, perih yang kurasakan saat menyanyikan lagu Indonesia Raya, pesimis yang kupunya dengan masa depan umat manusia, dan lain-lain. Ia juga laki-laki yang bisa memahami karya-karya Pram, Dickens, atau Jostein Gaarder yang membicarakan tentang manusia dan bahkan Tuhan. Di saat yang lain ia mampu mendengarkan dongeng-dongeng tentang peri dan raksasa, naga, monster-monster bawah laut, penyu sisik yang mudah mati, dan juga paus terdampar yang merindukan lautnya. Atau bahkan hal-hal remeh mengenai ukuran bra, berat badan, jerawat, bisul, cacingan, kegagalanku memasak, jarangnya aku makan atau bahkan jarang mandi. Kadang pula cerita tentang ciuman panas yang akan atau sedang dilakukan berdua.

Yang ketiga adalah laki-laki ini bersedia dan bisa menjadi korban gombalanku tiada akhir, menjadi korban tindak tanduk agresifku yang menerkam atau menciumi membabi buta. Atau justru pada saat yang lain mampu membuat pipiku merah tiba-tiba, membuatku mengalihkan pandangan karena malu, menyembunyikan mukaku di balik bantal, hingga membuatku berguling-guling kegirangan sehabis diciumnya, yang jarang-jarang aku dicium. Ia pun tahu bagaimana harus mengendalikanku saat aku bergelayutan di lengannya saking manjanya atau saking menyebalkannya. Burung liar yang selalu terbang bebas pun kadang ingin masuk sangkar untuk mendapat perhatian dan kasih sayang seorang Tuan yang tidak didapatkannya dalam kebebasan.

Selanjutnya yang agak sulit, laki-laki ini baiknya peka. Tahu ketika aku sedang marah, kecewa, sedih, dan emosi negatif lainnya hanya dengan memandang ke kedalaman mataku -pada dasarnya emosiku sangat mudah ditebak-. Aku punya kesulitan mengatakan: "Aku mau kamu minta maaf kepadaku,". Jadi harus tahu sendiri. Yah maaf kalau merepotkan. Selain itu ia juga mampu menerima alasan "Aku sedang membaca buku," karena aku lebih memilih aktivitas membaca buku daripada aktivitas pacaran.

Laki-laki ini juga suka minum sesuatu di pagi hari. Minum teh hangat atau kopi manis atau susu murni atau jamu gendong. Aku suka membuatkan minuman pagi untuk orang lain, apalagi jika diminum bersama. Sebuah aktivitas memulai hari yang sangat menyenangkan.

Di atas semuanya, laki-laki ini harus datang ke rumah dan melamarku di depan ibu bapakku. Menyedihkan sekali ternyata banyak laki-laki yang dengan mudah bilang "Ayuk nikah, ayuk ke penghulu," padahal tidak ada satupun yang berani datang melamar ke rumah.

Aku tahu, standarku sangat normatif di tulisan yang kubuat ini untuk menjadi standar Suami Ideal bagiku. Siapapun, dengan latar belakang apapun bisa. Memang begitu.

Aku mau tahu dan peduli dengan masa lalunya agar berhati-hati menjaga perasaannya. Aku mau tahu dan peduli dengan mimpi-mimpinya agar mampu membantu untuk mewujudkannya. Aku mau tahu dan peduli dengan jenis musik kesukaannya untuk mencarikan hadiah yang tepat untuk ulang tahunnya. Aku mau tahu dan peduli dengan tim sepakbola favoritnya untuk mengingatkannya ada jadwal pertandingan malam nanti. Tapi mau bagaimanapun masa lalunya, apapun mimpinya, jenis apapun musik kesukaannya, dan siapapun tim sepakbola favoritnya, itu tidak menjadi pertimbangan jadi atau tidak aku menerimanya menjadi suamiku.

Sederhana kan? Tapi adakah lelaki seperti itu? Yang syaratku padanya juga sama dengan syaratnya padaku?

*Aku menulis ini merupakan sebuah tantangan yang besar, untuk jujur atau tidak dalam penulisannya. Tulisan ini agak kontroversial karena pastinya mendobrak pikiran orang-orang tentangku. Teman-temanku merasa aku anak penurut yang tidak mungkin agresif hingga menerkam segala. Tapi yah, calon suamiku harus tahu seperti apa aku aslinya. Kalau seorang laki-laki ilfill padaku setelah membaca tulisan ini, yah berarti dia bukan orang salah satu kandidat Suami Idealku. Mudah saja kan? 

10 komentar:

  1. fyuuh.. *elap keringet* *haus* *menandaskan cangkir kopi*

    BalasHapus
  2. aih aih, benar-benar menantang kalau mau jadi suaminya mbak nadia :D

    BalasHapus
  3. minimal, aku suka minum kopi dan teh di pagi hari lah nad. masalah kamu mau nikah sama aku apa enggaknya itu urusan belakangan. yang penting yuk capcus ke kedai kopi dulu. kangen! :D

    BalasHapus
  4. @ifdal: boleeh lah dal, ayuklah. katanya kalian mau ke bromo? jadi?

    @alex: apa yang kamu hapus ini Lex? aku tahu, komentar yang 'weeeewwww' itu komentarmu, hihihi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. ..sama2 "weeeww" kok nad. Yg komen bernama tidak sengaja terhapus. haghaa

      Hapus

tulis saja apa yang kau pikirkan