25 Januari 2012

Surabaya-Madura part3

---

Akhirnya kami sampai di rumah Pakdhe dengan kondisi mengenaskan. Rumah kosong itu kami pakai tidur-tiduran dan mandi. Sayangnya hanya Bang Ilul dan aku yang ingat mandi. Ifdal lupa hingga ia terbangun. Mereka berdua sudah tertidur di kasur, hanya aku yang belum. Aku lelah sama seperti mereka berdua. Tapi bukannya aku sudah bilang aku tidak mudah tertidur? Akhirnya aku menemukan sofa dan tertidur. 

Lagi-lagi tidur yang lebih kuanggap sial kenapa aku bisa ketiduran, karena Pakdhe si pemilik rumah sudah pulang dan memanggil-manggilku dari luar. Aku baru terbangun setelah beberapa menit berlalu. Pakdhe masuk, dan ia memaksaku untuk tidur lagi karena aku berantakan, juga meminum obat pilek karena aku pilek kecapekan. Hanya beberapa jam aku tidur. Dibangunkan dengan sms dan telepon. Bangun-bangun dan menangis dalam diam, sudah cukup aku tidur, tidak perlu tidur lagi, dalam hati. Bagaimana nanti respon mereka semua kalau melihat aku menangis? Bingung bagaimana harus bersikap kan? 

Saat itu hujan deras di luar. Waktu juga sudah pukul setengah 3 sore, sedangkan rencana awal jam 1 kami keluar, mencari tiket kereta jam 3 sore. Waktu tidak cukup kalau keluar sekarang. Hujan pula. Mereka berdua juga masih tidur, kalau dibangunkan tergesa-gesa bakal sangat tidak menyenangkan. Jadi kubiarkan saja. 

Kami bertiga berangkat dengan izin Tuhan, dan kami pulang pun sesuai dengan rencana-Nya. 

Aku keluar menuju teras, memandang hujan. Bagiku, puncak kepercayaanku pada keberadaan Tuhan terjadi ketika aku melakukan perjalanan kemanapun. Dalam perjalanan ke tempat yang tidak aku ketahui, aku tidak tahu apa-apa, aku tidak mengenal siapa-siapa, tidak bisa mengandalkan siapa-siapa. Kecuali Tuhanku. Dengan kepercayaan itu, bagiku keberadaan Tuhan itu positif. Ia ada. Dan bisa diandalkan. 

Kami pamit dari rumah Pakdhe Ary sekitar jam 4 sore menunggu hujan mereda dan menuju Terminal Bungurasih. Di dalam angkot, Bang Ilul tidak lelah mengerjaiku selama hampir 30 menit dengan kebohongan-kebohongannya. Bang Ilul dan Idal tidak habis pikir denganku yang hampir tidak terlihat sedang tidur. Padahal aku tidur, tapi tidak sebanyak Idal, ataupun semalas Bang Ilul untuk bangun meskipun sudah tidak tidur. Mereka berdua juga mengerjaiku ketika menganggap aku orang yang sangat baik sehingga seharusnya sudah tidak ada tahun 2012, jaman sekarang. 

Tapi bagiku mereka belum tahu siapa aku yang sebenarnya saja. Bisa jadi aku berpura-pura baik atau berpura-pura lugu, begitu kataku pada mereka. Pertanyaanku itu justru semakin mengaburkan, aku benar-benar baik ataukah hanya berpura-pura. Aku pun tidak tahu. 


Kami sampai di Teminal Bungurasih pukul 6, masih terlalu siang untuk pulang ke Jogja. Jam 6 berangkat, sampai Jogja akan tengah malam dan semakin sulit mencari kendaraan pulang. Jadi kami makan dulu, nasi goreng kaki lima di pinggir jalan. Itu pertama kalinya aku melihat mereka berdua menghabiskan makanan di Surabaya. Aku juga habis dengan porsi yang sama besarnya, namun waktu tempuhnya dua kali dari mereka. 

Kami masih bercerita tidak habis-habisnya, mentertawakan teman-teman, mentertawakan hidup, dan mentertawakan diri sendiri. Terlalu lama hingga sudah mendapat tatapan bahwa kami sudah terlalu lama ada di sana dari pemilik kaki lima. Dan masuk ke dalam terminal. 

Ternyata, Terminal Bungurasih tampak moderen di dalam sana, seperti airport saja. Padahal jalan masuk ke dalam terminal gelap gulita. Don’t judge the terminal from it’s entrance. Jangan pernah mengira sesuatu atau seseorang itu buruk kalau kita belum memahaminya. 

Selagi menunggu niat untuk pulang, Bang Ilul membeli buku TTS. Dan inilah kelanjutannya. Bang Ilul seperti tersihir ketika dihadapannya ada buku TTS. Ia sibuk menanyakan pertanyaan TTS pada Idal dan aku, kadang-kadang alias jarang ia langsung menulis jawabannya kalau tahu, dan melupakan batang-batang rokok. 


Idal dan Bang Ilul memang tidak bisa lepas dari rokok. Terus saja menyulut dan menghisap seperti bernafas. Aku sama sekali tidak masalah mereka berdua merokok. Karena merokok adalah keputusan pribadi. Namun paru-paruku sepertinya tidak dapat lebih lama lagi menjadi penghirup pasif, malam itu aku mulai batuk-batuk. 

Aku pun tahu sebenarnya rokok tidak baik untuk paru-paru mereka berdua, makanya yang bisa kulakukan hanyalah membelikan Bang Ilul buku TTS yang lebih tebal agar dia bisa melupakan rokok sebentar saja. 

Akhirnya kami memutuskan untuk pulang, dan naik bis Sumber Kencana yang terkenal itu. Perasaanku dari awal tidak enak. Tapi entah kenapa satu jam pertama aku ketiduran. 

Tahu kan kalau aku ketiduran, pasti aku sial. Karena aku tidak waspada dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan benar saja. Seluruh penumpang bis Sumber Kencana diturunkan dari bis dan dioper ke bis yang lain di Terminal Mojokerto. Dimana itu Mojokerto? Di sebelah mana Mojokerto di peta dunia? 

Alasan penurunan kami pun karena mbahnya sopir bis meninggal dunia. Alasan macam apa itu? Sudah kuduga bakal seperti ini jadinya. Perasaanku sudah tidak enak sebelum naik bis ini. 

Semuanya karena aku tertidur dan tidak bangun untuk waspada. Ifdal dan Bang Ilul yang terbangun dengan tergesa-gesa membuatku sedih sekali. Ini adalah poin ketika aku menyadari bahwa aku sayang pada mereka berdua. Aku akan melindungi mereka berdua dengan semua yang aku bisa, dengan caraku sendiri. 

Kubelikan Bang Ilul antimo dan kupastikan dia tidur selama yang aku bisa agar tidak mual sepanjang perjalanan. Aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak tertidur lagi, berjaga-jaga. Idal menemaniku dengan mengobrol sepanjang malam itu. 

Kekhawatiranku yang berlebihan sangat tidak beralasan, menurut Idal. Aku tidak perlu memaksakan diri seperti itu untuk mereka. Aku tahu, tapi aku melakukan hal aneh tadi, sok kuat, juga ada alasannya. 

Aku tahu bagaimana reputasi Sumber Kencana, aku pun mengalami bagaimana kenekatan para sopir bus itu, aku juga belum mau mati setidaknya tahun ini, dan kalau terjadi kecelakaan di antah berantah ini, apa yang harus aku katakan pada Ibu Bapakku padahal aku tidak pernah minta izin berangkat pada mereka. 

Ketika bis sudah sampai Terminal Surakarta, tempat yang pernah sekali kudatangi, dan kota yang sudah kukenal baik, juga Bang Ilul sudah terbangun dari tidurnya yang panjang, baru aku memutuskan untuk tidur. Untungnya memutuskan untuk tertidur tidak membawa kesialan buatku. 

Pukul 4 pagi kami sampai di Terminal Giwangan dan menunggu pagi waktu operasional bis Trans-Jogja untuk pulang. Apalagi kalau bukan dengan mengisi TTS sepanjang waktu itu? Baru jam 8 pagi kami memutuskan untuk meninggalkan terminal. 

Pulang kerumah masing-masing untuk tidur dan bangun-bangun untuk merasa dua hari terakhir kami bermimpi sapai Surabaya dan Madura.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tulis saja apa yang kau pikirkan