25 Januari 2012

Surabaya-Madura part2

---

Tapi aku sungguh bersyukur mengenal dan melakukan perjalanan dengan mereka berdua. Perjalanan kemarin sangat menyenangkan. 

Bayangkan saja bagaimana kami memutuskan akan turun di stasiun yang mana di Surabaya tengah malam seperti itu. Ada tiga stasiun di Kota Surabaya, yaitu Stasiun Wonokromo, Stasiun Gubeng, dan Stasiun Semut. Berbagai alternatif sudah dibicarakan, dari menurunkan kami masing-masing di tiap stasiun, hingga turun di Stasiun Semut dan langsung meneruskan perjalanan ke Madura karena katanya dari sana bisa langsung mengakses bis ke Madura. 

Kami menentukan tujuan lagi. Madura kah tujuan kami sebenarnya? 


Namun mempertimbangkan masukan dari Pakdhe, akhirnya kami turun di Stasiun Gubeng. Dan di sanalah kami tengah malam itu. Keluar mencari toilet umum karena toilet stasiun sudah ditutup. Keluar tanpa tau kemana yang penting menemukan makanan. Kami melewati jembatan berbahaya bagi kedua lelaki teman seperjalananku, alias mereka bisa jadi korban teman-teman transeksual, sedangkan aku aman-aman saja. Kami melewati Museum Kapal Selam yang benar-benar berupa kapal selam. Kami pun melewati hostel yang sangat ingin kusinggahi kalau aku mengunjungi Surabaya lagi. Kami juga melewati jejeran toko-toko bunga di sepanjang jalan. Dan ada angkringan. 


Surabaya itu kota penuh kuliner. Sayangnya aku tidak terlalu suka dengan kuliner. Juga tidak terlalu tidak suka. Biasa saja. Rawon Surabaya sudah pernah aku coba namun tanpa jeruk nipis. Kali ini dengan jeruk nipis. Tapi aku makan saja. Aku sudah pernah mencoba masakan yang tidak enak dan tetap aku makan karena itu masakanku dan tanggung jawabku untuk menelannya. 

Namun ternyata Idal dan Bang Ilul tidak setangguh itu. Aku senyam senyum saja ketika tahu beberapa kali mereka tidak menghabiskan makanan karena tidak suka. 

Disana aku bertemu dengan Pakdhe Ary untuk pertama kalinya. Dia lebih ceria, lebih heboh, dan lebih bersahabat dari yang kuduga. Menawari kami tempat beristirahat dan lain-lain. Sungguh bantuan yang kami syukuri keesokan harinya. 

Kami diantar ke warnet yang buka 24jam karena kami memutuskan untuk tiduran di warnet saja disambi googling tentang Surabaya (ingat kan kalau kami berangkat ke Surabaya tanpa persiapan?) juga paling tidak, update status twitter. 

Tapi di warnet aku tidak bisa tidur. Aku tidak ingin tidur dan kemudian terbangun berada di kamarku di Jogja. Aku tidak ingin mimpi ke Surabaya ini berakhir. Aku gombal? Mungkin, tapi memang pada dasarnya aku tidak mudah tidur. 

Jam 3 pagi kami meninggalkan warnet dan menyetop taksi ke arah pintu tol Suramadu. Sayangnya saat itu sudah terlalu siang untuk menyetop bis dan terlalu malam untuk meminta bantuan pada satpam. Akhirnya kami terbengkalai di depan pintu tol tanpa tahu bagaimana caranya melewati jembatan Suramadu untuk sampai di Madura. 

Tapi bukan kami kalau kesialan tidak dimanfaatkan untuk bersenang-senang. Akhirnya kami main-main di jalanan lenggang, mengambil gambar Jembatan Suramadu saat malam hari, dan bereksperimen dengan berbagai pose di depan kamera (Idal dan Bang Ilul saja maksudku). 








Nasib kami ternyata juga dikasihani Bapak Sekuriti Gerbang Tol Suramadu yang dengan berbaik hati mencarikan tumpangan bagi kami melewati Jembatan Suramadu. Tumpangan itu berupa truk pengangkut besi bekal rangka beton. Ini pertama kalinya aku menumpang truk dan duduk di depan. Sebelumnya di bak truk atau eskavator. Yang terakhir membuatku trauma karena terjatuh dan karena kendaraan besar biasanya tidak diciptakan untuk manusia kecil sepertiku. Tapi untungnya, tidak ada insiden kali ini. 



Jam 6 pagi sampailah kami di Madura. Beginilah Madura ternyata. Orang-orang yang berbeda, bahasa yang berbeda, dan cara hidup yang berbeda. Hanya beberapa jam aku di Madura dan aku tahu masih sangat banyak dari Madura yang belum aku kenal. Dan bagiku, tidak ada cinta pada pandangan pertama. 

Mimpi apa aku kemarin hingga sekarang sudah berada di Madura, begitu pertanyaanku dengan Bang Ilul, yang dia juga mempertanyakan hal yang sama. Hingga saat itu pun aku masih merasa ini mimpi. Saat itu aku berada dalam sebuah mobil milik seorang bapak separuh baya, kuduga seorang PNS dari warna bajunya, yang menawarkan antaran menuju Kemal, Pelabuhan di Madura yang menghubungkan pulau itu dengan Pulau Jawa. 


Kami pulang lagi menuju Tanjung Perak pukul 8 pagi dengan menggunakan kapal. Pulang dan pergi dengan cara yang berbeda membuat kami mengalami banyak pengalaman tak terlupakan. Di Madura kami menghabiskan 1jam perjalanan dalam mobil si bapak dan 1jam mencari makan. Lagi-lagi kulihat makanan Idal dan Bang Ilul tidak dihabiskan. Kapal dari Kemal menuju Tanjung Perak terjadwal dan selama laut tidak bergejolak, jadwal keberangkatan kapal tepat waktu. 


Di Tanjung Perak, kami ke kota dengan Bis Damri, yang tadinya kukira rutenya Tanjung Perak-Terminal Joyoboyo, bermula dari Tanjung Perak dan berakhir di Terminal Joyoboyo. Entah namanya mengambil dari Raja Jayabaya yang memerintah Kerajaan Kediri, atau dari Jayabaya yang meramalkan masa depan Jawa itu, aku tidak tahu. Kalau bis Damri berakhir di Terminal Joyoboyo, aku tidak perlu khawatir, bis akan berhenti terakhir di terminal terakhir, jadi aku tidak perlu takut kebablasan. Karena itu aku untuk pertama kalinya, sempat tertidur di bis. 

Dugaanku salah. Bis Damri hanya lewat di Stasiun Joyoboyo, dan untungnya kondektur bis meneriakkan tempat itu. Kami dengan terburu-buru turun. Padahal aku sempat melihat Bang Ilul baru saja hampir tertidur. Kasihan sekali. 

Terminal Joyoboyo dekat dengan Kebun Binatang Surabaya yang terkenal sangat luas dan terutama Patung Sura dan Baya yang saling menyerang yang menjadi lambang Kota Surabaya. Jadi Ifdal dan Bang Ilul menyempatkan diri mengambil gambar dan aku membeli tiket masuk kebun binatang yang tidak pernah aku pakai. Karena setelah sesi pemotretan itu kami berjalan-jalan lagi tanpa mau kemana dan mau apa. 



Dengan tampang sudah mirip preman – dua lelaki itu dan aku juga kata mereka, akhirnya kami memutuskan akan menerima tawaran Pakdhe untuk beristirahat di rumahnya sementara, setidaknya untuk mandi dan tidur sebentar. Dan dari Terminal Joyoboyo ke rumah Pakdhe kami harus naik bemo. Masalahnya, setahuku bemo itu beroda tiga, hampir mirip bajaj namun berbeda bagian belakangnya. Tapi sumpah, di Surabaya aku belum pernah melihat seekor bemo pun! Ternyata, bemo itu hanya sebutan untuk angkot di Surabaya. Di dalam angkot, Ifdal membuka obrolan dengan mba-mba (korban barunya) tentang letak Pasar Pucang dimana kami harus turun.

---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tulis saja apa yang kau pikirkan