17 Oktober 2011

mengendarai motor

mengendarai motor ke kampus.

kelihatannya ini sederhana, namun bagiku tidak. makanya sampai sekarang tidak aku lakukan. kenapa aku tidak naik motor ke kampus? kenapa naik sepeda? karena sekali aku naik motor kemana saja, maka aku ikut terseret dalam sistem buruk yang tidak mudah terselesaikan.

ketika aku memutuskan akan memiliki motor, maka pertama kali aku akan masuk ke jaringan kredit motor (nomer satu), membayar uang muka, membayar bulanan, membayar bunga bulanan, dikejar-kejar penagih hutang, belum lagi kalau tidak bisa motorku diambil lagi, belum lagi banyak orang yang memang berencana kredit motor tapi tidak berniat melunasinya hanya dipakai baru saja saat lebaran, belum lagi tukang kredit yang sebelumnya diberi pelatihan untuk menakut-nakuti penghutang, kalau tidak bisa bayar motor diambil, yang lebih parah lagi bisa babak belur dihabisi, lebih parah lagi masuk rumah sakit, yang paling parah bisa mati dibunuh. anak-anak lain yang manja dan tidak tahu diri meminta dibelikan motor pada orang tua mereka yang entah bisa membeli entah tidak, mereka tidak peduli, yang penting motor baru. rengekan-rengekan itu yang semakin lama didengar semakin membuat emosi, akhirnya dipenuhi, orangtua meminjam uang pada bank, pada lintah darat, pada siapapun.

masalah tidak selesai sampai disana.

ketika aku mengendarai motor, yang kredit tadi, aku butuh bensin (masalah nomer dua). yang berbeda dengan sepeda ketika aku hanya harus bermodal keringat. aku membeli bensin di pom, dilarang membeli premium oleh pemerintah. harus yang pertamax, tapi aku tidak punya uang, tapi semua orang membeli premium, tapi premium toh dijual juga bebas, aku beli saja premium yang harganya semakin lama semakin tinggi, membuat harga-harga melambung tinggi, kecuali harga motor. kenapa bisa terjadi? indonesia memang termasuk salah satu negara penghasil bahan bakar fosil terbanyak di dunia, namun mati kelaparan di dalam lumbung padi yang melimpah ruah. entah bagaimana caranya, minyak-minyak mentah itu tidak bisa diolah di indonesia. minyak mentah itu diekspor keluar negeri, dianggap minyak mentah kualitas terbaik dunia, bangga pula dikatakan seperti itu. lalu pemerintah mengimpor minyak yang sudah jadi, harga internasional, lebih mahal, padahal punya minyak sendiri. pemerintah sok baik dengan mengatakan premium yang dijualnya bersubsidi, padahal itu sama saja menutupi kebodohan mereka sendiri yang terikat tidak bisa memproduksi sendiri. akhirnya 15okt kemarin Jateng-DIY kelebihan penjualan premium bersubsidi, dan kebakaran jenggotlah. bukannya bahagia jualannya laku, tapi sedih. kalau begitu, bubar saja lah jualannya.

sudah muak? haha belum selesai.

setiap aku masuk ke kampus, membeli makan, mampir ke museum, atau membeli buku baru di toko buku, aku harus memarkir kendaraanku (masalah nomer tiga). parkiran kendaraan bermotor untuk motor kadang 500 kadang 1000 kadang 2000 tergantung dimana dan seberapa lama. uang parkir itu katanya restribusi untuk pemerintah. tapi kemana uangnya? dari tukang parkir yang tidak jelas alias preman yang duduk-duduk disana, tidak ada tiket parkir diberikan, adanya setoran-setoran parkir bawah tangan, kemudian uang masuk ke pemerintah daerah tidak ada transparansinya berapa dan untuk apa, kemudian tidak ada jaminan keamanan helm maupun kendaraan itu sendiri, kadang ada beberapa mafia pencurian kendaraan yang berkedok tukang parkir. biaya parkir dalam dua tahun bahkan bisa jadi lebih besar daripada biaya membeli motornya.

adalagi.

polisi yang bermata jeli (masalah keempat), bukan masalah ketika ada orang yang melanggar peraturan dikenai hukuman. tapi masalah ketika pelanggaran itu seakan diada-adakan, dan dipaksa memberikan uang sejumlah tertentu. apakah tidak ada penjahat yang masih buron yang bisa dikejar daripada mengada-adakan masalah? ketika melanggar peraturan diberi dua pilihan, sidang di kantor atau bayar ditempat, sidang dikantor dibuat seolah mengerikan sekali dan susah sekali, sehingga membayar di tempat menjadi jalan keluar paling cepat. dan tidak ada kuitansi pembayarannya, semuanya tergantung tekanan dari polisi. belum lagi membuat sim, mafia pembuatan sim sudah sejak dulu beredar, pertanyaan di ujian tulis sim dibuat seambigu-ambigu mungkin sehingga jawaban tidak jelas dan tidak banyak yang lulus, sehingga terpaksa menggunakan jasa mafia sim yang biasanya pun kenal dengan orang dalam kepolisian. belum lagi mafia plat nomer pesanan yang bayarnya dari 5juta hingga ratusan juta. uangnya kemana? tidak tahu. belum lagi arak-arakan presiden, atau gubernur, atau pembesar sok ngartis yang membayar polisi untuk mengawal mereka, pengguna jalan lain terpinggirkan, kadang terburu-buru minggir hingga terjadi tabrakan beruntun. apa tidak ada kerjaan lain?

selesaikah? belum!

belum lagi dampak polusi kendaraan bermotor yang sangat buruk bagi kesehatan. bagi udara. bagi makhluk hidup. berapa juta motor yang ada di jakarta? berapa jumlah manusia yang ada disana? berapa jumlah udara bersih yang berhak dimiliki oleh setiap manusia? semakin lama semakin menjamurlah asma, TBC, dan berbagai macam penyakit pernafasan. dampaknya bisa lebih parah dari asap rokok. orang-orang merokok diberi tempat khusus merokok. seharusnya begitu pula pengendara motor, antara knalpot dan hidungnya sedianya diberikan selang khusus agar dia sendiri yang menghirupnya. anak-anak kecil menghirup asap bisa mati tanpa dosa. mengendarai motor sama saja bisa membunuh orang lain, terlepas dari kecelakan bisa terjadi pada siapa saja entah naik motor atau bukan.

kalau sudah begini, ketika mengendarai motor saja sudah sedemikian besar mudharatnya, kerugiannya, lebih baik ditinggalkan bukan? pemerintah indonesia jelas masih jauh sekali kalau ingin memperbaiki transportasi negara ini. harus ada perombakan besar-besaran yang tidak bisa ditawar, apalagi oleh berbagai investor. sistem yang sedang berlangsung ini buruk. kita sendirian belum bisa menyelesaikannya.

maka, lakukanlah dari hal yang paling sederhana, yaitu dengan tidak masuk dalam sistem buruk itu. baru sisanya memperperbaiki bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tulis saja apa yang kau pikirkan