“Krack..”
Suara retakan pertama yang aku dengar dalam hidupku. Suara retakan cangkang telurku sendiri. Disusul dengan suara-suara retakan lain disekelilingku. Bersahut-sahutan. Berulang-ulang.
“Sa..” aku tersekat. Susah sekali mengeluarkan kata pertama dari mulutku. Aku berdehem dan terbatuk. “Saudaraku, uhuk,” lagi-lagi terbatuk. “Saudara-saudaraku, apakah kalian baik-baik saja?” aku berhasil mengeluarkan kata-kata dari mulutku sekaligus berhasil mengeluarkan tubuhku yang masih lemah dari cangkang yang selama ini melindungi embrioku.
Aku masih belum mendapatkan jawaban, namun aku merasakan tubuh-tubuh saudara-saudaraku yang bergesekan di sekelilingku. Aku tahu keempat belas saudara-saudara disampingku baik-baik saja. Tapi aku masih memiliki 985 ekor saudara laki-laki lainnya yang sedang berjuang keluar dari telur mereka yang harus aku pastikan keadaannya. Adik-adikku, yang kesemuanya laki-laki karena pasir pantai yang suhunya agak dingin belakangan ini, sudah kupastikan kesemuanya selamat keluar dari cangkang mereka. Aku bersyukur.
“Adik-adikku! Kalian baik-baik saja?!” aku ulangi pertanyaanku. Bukan jawaban yang aku dapatkan, tapi dengungan jawaban dari adik-adikku disusul dengan batuk-batuk. Aku memutuskan akan berkeliling dan mencari jawaban atas pertanyaanku sendiri.
“Adikku! Apa kau bisa mendengarku? Genggam tanganku, akan kubantu kau keluar. Nah begitu lebih baik.” aku menggesek-gesek telur salah satu adikku untuk mendapatkan jawaban.
“Bantu yang lain bila kalian sudah berhasil menetas, hari-hari pertama dalam hidup kita adalah yang terberat. Bantu yang lain.” aku berkata pada adik-adikku lain yang sudah terlebih dulu berhasil keluar dari cangkang telur mereka.
“Adik-adikku, sebentar lagi kita akan ke permukaan pasir pantai. Tetap waspada, kalian tahu kenapa? Karena hanya kita penyu sisik yang berhasil menetas dari jutaan telur penyu sisik. Kita sangat beruntung telur-telur kita dapat menetas. Ribuan telur penyu lainnya ditemukan oleh dunia dan diambil sebelum menetas. Kita hanya sebagian kecil yang tersisa. Kita harus hidup. Namun perjuangan hidup justru lebih berat lagi diatas sana, adik-adikku.” aku berkeliling, trus membantu adik-adikku yang lain sekaligus memberikan arahan keselamatan selagi bisa. Aku tidak punya banyak waktu di bawah sini.
“Di atas permukaan pasir, tantangan terbesar kita adalah serangan kilat dari langit. Monster-monster itu memang tidak dapat menghancurkan cangkang kita, tapi itu justru yang membuat mereka membawa kita ke langit dan menjatuhkan kita untuk membunuh dan menghancurkan cangkang kita. Mereka sangat kejam dan kuat! Aku sendiri tidak tahu bagaimana mengalahkan mereka. Tapi yang pasti jumlah kita lebih banyak dari mereka. Mereka hanya beberapa dan kita ada seribu. Jangan egois hanya mempertahankan hidup sendiri. Kita harus saling membantu dan menyelamatkan saudara-saudara yang lain. Tujuan kita saat di permukaan adalah sesegera mungkin masuk ke laut. Paham?” menampilkan akibat terburuk, kemudian meningkatkan kepercayaan pada kemampuan diri, dan terakhir tujuan. Itu yang aku sampaikan sebagai telur yang keluar dan menetas pertama kali. Aku kakak tertua dari seribu telur penyu sisik yang berhasil menetas.
Aku sendiri merinding membayangkan kejamnya dunia. Aku tidak pasti apakah di akhir nanti aku dapat bertahan hidup atau tidak. Aku hanya berharap sedikit kata-kataku dapat menyelamatkan setidaknya satu saja hidup kami.
“Tantangan kedua, yang kalian hadapi dalam sepanjang tahun pertama, bertahan di laut. Hati-hati pada predator laut. Buka hati kalian dan dengarkan insting sekecil apapun yang diberikannya. Lalu bantu istri kalian bertelur sebanyak-banyaknya di tempat yang paling aman. Begitu seterusnya. Buat hidup kalian berharga untuk spesies kita, adik-adikku.” Aku sendiri belum pernah merasakan sendiri hidup itu seperti apa. Buatku hidupku ini juga pertama kalinya. Aku hanya mendengar itu semua dari doa ibuku selama bertelur berjam-jam sejak mengeluarkanku, telur 0001, hingga adik bungsuku 1000.
Ya Tuhan, selamatkanlah anak-anakku
Jagalah telur-telur mereka dari keserakahan dunia
Jagalah tubuh mungil mereka dari serangan langit
Bantu mereka berlari menuju laut
Bantu mereka bertahan di laut
Berkahilah hidup mereka
Aku hanya mampu mendoakan dari jauh
Aku tidak berdaya
Hanya Engkau yang mampu menolong mereka
Karena Engkau Maha Pelindung dari marabahaya
Aku mengulang doa ibuku sekali lagi untuk membangkitkan semangat hidup adik-adikku, “Aku mendengarkan doa ibu kita selama bertelur, adik-adikku. Kalian juga mendengarnya kan? Ibu telah memperingatkan kita sejak menelurkan kita. Ini bukan masalah hidup salah satu dari kita saja. Tapi kehidupan kita juga sangat berharga untuk mempertahankan spesies kita. Hidup kita berharga untuk seluruh bumi.”
“Ini mungkin pertama dan terakhir kalinya kita berkumpul dan berbicara. Aku sangat sayang pada kalian. Pertahankan hidup kalian, adik-adikku. Ayo, cepat ke permukaan!” Aku mengucapkan selamat tinggal dengan mendorong salah satu adikku ke arah permukaan. Tindakanku diikuti oleh adik-adikku. Mereka mendorong untuk membantu yang lain naik ke permukaan.
“Semangat adik-adikku! Terus bantu yang lain! Waktu kita tidak banyak!” Aku terus mengulang kata-kata itu hingga suaraku serak. Aku baru pertama kali menggunakannya dua puluh menit yang lalu dan sekarang malah sudah hampir habis.
Aku mendorong adik terakhirku 1000 yang kebetulan berada di dekatku ke permukaan dan menyusulnya. Aku seketika buta. Aku tidak tahu apa namanya benda menyilaukan itu yang terasa sangat panas di tubuhku. Beberapa detik aku tidak bisa melihat apa-apa. Tapi aku mendengar banyak hal.
Ibuku memendam telur-telurnya di tempat yang menurutnya paling aman sedunia: bagian pasir pantai yang tidak mudah abrasi ketika pasang surut dan pasir yang bukan daerah kepiting sejenisnya tinggal. Itu berarti lumayan jauh dari garis pantai yang jelas sangat menyulitkan kami bertahan hidup dan kesempatan yang lebih besar bagi pemangsa dari langit untuk menculik adik-adikku.
“Toloooong!” Teriakan minta tolong terdengar dimana-mana. Itu suara adik-adikku. Apa yang terjadi? Ah, serangan langit terjadi disaat aku dan adik-adikku tersengat buta sekejap! Beberapa ekor adikku dipatuk dan dibawa pergi ke langit oleh penyerang-penyerang yang tidak ada habisnya. Aku harus mengambil kendali.
“Berlarilah berkelompok, adik-adikku! Lindungi yang lain dan cepat menuju air!” Aku memang tahu, secepat-cepatnya penyu sisik berjalan, kami masih dua puluh kali lebih lambat dari penyerang yang datang dari langit, tapi tidak ada salahnya mencoba. Apalagi di saat seperti ini.
“Cepaaat!!” aku mendorong tubuh 1000, adik terakhirku yang berjalan sangat lambat, dan setelah kuperhatikan, ternyata sirip kanannya tidak berkembang sempurna. Ukurannya lebih kecil dari yang lain. Tidak ada jalan lain. Aku mendorongnya dari belakang agar mampu lebih cepat menuju ke air laut.
“Aku tidak kuat, Kakak 0001. Aku tidak mampu. Relakan saja hidupku.” 1000 berbisik sambil terengah-engah. “Tidak bisa, dasar bodoh! Satu ekor dari kita dapat berarti banyak bagi dunia. Jangan mati. Kau terlalu berharga untuk mati.” aku menjawab marah dan melampiaskan kemarahanku dengan mendorongnya maju setengah mati.
Aku berusaha untuk terus membuka mata dari pemandangan yang sama sekali tidak ingin kulihat. Adik-adikku diangkat kelangit dan dijatuhkan di bebatuan karang utara untuk dipecahkan cangkang mereka. Aku tidak bisa melihat adik-adikku dibunuh seperti itu. “Jangan takut adik-adikku! Fokus pada tujuan! Segera menuju laut!” Hanya itu yang bisa aku lakukan.
Aku melihat bayangan berkelebat di sekitarku. Ada satu monster yang mendekatiku. Bukan, targetnya bukan aku, tapi adik terakhirku yang sedang aku dorong setengah mati. Keadaan seperti ini tidak bisa kubiarkan.
Monster itu menukik tajam kearah adikku. Aku melompat dari yang tadinya dibelakang adikku hingga diatasnya. Dan memang seperti yang kurencanakan, aku lah yang diangkat oleh monster itu. Tapi rencanaku belum bekerja. Saat tubuhku terangkat, aku segera mencengkram tangan adikku yang normal. Kami berdua terangkat. Bukan, bukan untuk mati bersama.
“Kakak, a-aa-apa yang terjadi?” Adikku terbata-bata. Kami terbang, atau tepatnya dicengkram di salah satu kaki monster yang berkuku tajam yang bisa merobek dagingku. “Ikuti saja apa yang aku katakan.”
Aku melihat sekeliling dan mataku terpana dengan dunia. Beberapa saat yang lalu aku baru keluar dari cangkangku dan bertemu saudara-saudaraku yang kuat dan yang lemah. Rasa sayang tumbuh dalam sekejap dan sekarang aku melihat adik-adikku jatuh pecah di bebatuan karang. Pada hari yang sama, pada jam yang sama. Aku silau pada benda panas di langit hingga buta, dan kini aku melihat dari langit betapa birunya laut yang merupakan tujuan kami hari ini. Semuanya itu dalam sehari, ah tidak, setengah hari.
Aku sudah mencapai ketinggian yang tepat untuk melakukan rencanaku, selagi monster ini belum mengarahkan tubuhku dan adikku ke bebatuan karang.
“1000, dengarkan aku, kau akan kulempar..” kata-kataku terputus ketika monster ini sedikit menggoncangkan kakinya.
“Apa?”
“Kulempar!”
“Haaah?!”
“ Akan kulempar kau ke laut dari ketinggian ini.”
“Kakak bagaimana?”
“Jangan pikirkan aku. Hidupmu bisa menjadi jauh lebih berharga dari hidupku.”
“ Aku tidak bisa, Kak.”
“Tidak bisa bagaimana. Aku mempertaruhkan hidupku untuk menyelamatkan adik-adikku. Dan jangan membuat hidupku menjadi sia-sia dengan dirimu menjadi pengecut seperti itu.” Aku tidak mau mendengarkan pendapat adikku lagi, karena dia akan terus menolak. Aku segera mengambil ancang-ancang untuk melepaskan genggamanku saat sudah berada di atas laut.
Dan ya, aku melepaskan genggamanku pada tangan adikku.
“Hiduplah terus, adikku 1000!”
“Aku sayang Kakak!”
Aku ingin menutup mataku, aku tidak ingin melihat adikku jatuh dari ketinggian seperti ini. Tapi aku berusaha sekuat tenaga mengalahkan ketakutanku dan membuka mataku untuk memastikan adikku jatuh dengan selamat di laut. Aku tidak bisa mendengar jatuhnya adikku karena dikalahkan suara angin dan deburan ombak.
Akhirnya aku tetap tahu bahwa rata-rata hanya satu ekor penyu sisik yang dapat bertahan hidup dari seribu telur yang ditetaskan. Tapi aku tetap berusaha menjaga adik-adikku agar jumlah yang mampu bertahan hidup lebih dari itu. Hanya usaha itu yang dapat kulakukan sebagai kakak dalam hidupku yang hanya beberapa jam.
Hal terakhir yang aku lihat adalah betapa putihnya bebatuan karang yang terlihat dari atas sini. Aku tidak mau melihat apa-apa lagi. Aku hanya bahagia dengan hidupku yang hanya sebentar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
tulis saja apa yang kau pikirkan