10 Oktober 2013

Buta Warna

Seandainya aku terlahir buta warna, maka dunia terlihat sebagai bayangan yang nyata.

Segitukah suramnya dunia? Aku hanya bisa bertanya. Tentu saja tidak pernah membandingkan, aku tidak tahu apa itu warna. Aku hidup dan mengisi hidup seperti orang biasa. Barangkali orang biasa pun mengisi hidup sama seperti orang buta warna. Tidak ada gesekan, juga tabrakan. Hingga muncul persyaratan masuk kuliah, kemudian persyaratan masuk kerja. Orang-orang biasa memberi batasan pada orang-orang yang tidak melihat dunia seperti bagaimana mereka melihat dunia. Adilkah? Bisa jadi adil, untuk jurusan dan pekerjaan yang benar-benar membutuhkan kepekaan warna. Tapi disingkirkan untuk pekerjaan sehari-hari karena buta warna? Yang benar saja.

Ini sama salahnya dengan apartheid; merendahkan golongan yang berbeda. Sama salahnya dengan Nazi; merasa unggul lalu menyingkirkan cacat. Sama salahnya dengan kediktatoran dan ketotaliterian; melarang perbedaan pandangan.

Padahal setiap orang hidup dalam dunianya sendiri. Persis seperti orang buta warna dan dunianya.